Oleh Moh. Mahfud M.D.
Sampai sekarang masih banyak warga Islam di Indonesia yang memperjuangkan pemberlakuan hukum Islam sebagai hukum formal, yakni berlaku berdasar penetapan negara sebagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai bentuk tertentu.
Mereka beralasan, di dalam negara Pancasila yang berdasar Ketuhanan Yang Mahaesa, hukum Islam menjadi sumber hukum nasional. Selain itu, dikatakan bahwa pemberlakuan hukum Islam adalah keniscayaan prinsip demokrasi. Karena lebih dari 80 persen warga negara Indonesia beragama Islam, wajar saja jika melalui proses yang demokratis hukum Islam dijadikan hukum nasional.
Pandangan seperti itu sebenarnya tidak sejalan dengan mainstream pandangan kaum muslimin di Indonesia. Sebagian besar kaum muslimin di Indonesia, seperti yang ditunjukkan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, tidaklah (sekurang-kurangnya tidak lagi) memperjuangkan berlakunya hukum Islam sebagai hukum resmi di Indonesia.
Justru yang diperjuangkan mereka ialah kebebasan dan perlindungan oleh negara bagi kaum muslimin dan umat beragama lain untuk melaksanakan ajaran agama masing-masing.
Dalam pandangan demikian, kaum muslimin bebas menjalankan ajaran hukum Islam dalam lapangan keperdataan tanpa diwajibkan oleh negara. Sedangkan dalam lapangan hukum publik, tunduk pada hukum nasional yang bersifat unifikatif (berlaku sama untuk semua warga negara meskipun agamanya berbeda-beda).
Dalam lapangan hukum publik seperti hukum tata negara, hukum pidana, hukum tata pemerintahan, hukum lingkungan hidup, dan sebagainya, yang berlaku bukanlah hukum agama tertentu. Pandangan inklusif seperti itu merupakan konsekuensi dari pilihan kita mengenai hubungan antara negara dan agama yang dirajut dalam apa yang kita sebut sebagai negara Pancasila.
Negara Pancasila bukanlah negara agama dan bukan negara sekuler, tetapi juga bukan negara yang "bukan-bukan." Hukum adalah pelayan masyarakatnya dan sistem hukum Pancasila adalah landasan pelayanan hukum terhadap masyarakat yang berfalsafah Pancasila.
Sebagian umat Islam Indonesia telah pernah memperjuangkan secara demokratis melalui parpol-parpol Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dan menjadikan hukum Islam sebagai hukum nasional yang formal. Sebagian umat Islam telah memperjuangkan "formalisasi Islam" itu melalui Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945, melalui Konstituante 1956-1959, dan melalui MPR 1999-2002.
Namun, perjuangan yang telah ditempuh secara demokratis itu gagal karena tidak semua umat dan tokoh Islam menyetujuinya. Sebagian besar umat dan tokoh Islam sendiri memilih hukum nasional yang inklusif. Yakni, hukum nasional yang menyatukan ide hukum semua agama dan subsistem kemasyarakatan yang ada di Indonesia. Dengan menerima hukum yang inklusif seperti itu, umat Islam tidak harus menjadi murtad karena, misalnya, meninggalkan ajaran-ajaran Islam.
Kaum muslimin Indonesia tetap dapat menjalankan perintah agama Islam melalui hukum-hukum nasional yang inklusif. Apalagi, apa yang disebut hukum Islam yang diperjuangkan oleh sebagian umat Islam itu hanyalah fiqh yang tak lain merupakan hasil ijtihad fuqaha'.
Dengan menerima berlakunya hukum nasional yang inklusif, umat Islam dapat melaksanakan ajaran Islam tanpa halangan apa pun, bahkan dapat membuat fiqh sendiri yang khas Indonesia.
Ada kaidah ushul fiqh yang biasa dipakai dalam penerimaan atas hukum inklusif itu, yakni maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu. Jika tidak dapat mengambil seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya. Jika sudah memperjuangkan secara demokratis untuk memberlakukan hukum Islam sebagai hukum formal nasional tetapi gagal, berjuanglah melalui sisa peluang yang tersedia, yakni melaksanakan hukum Islam secara inklusif sebagai produk demokrasi.
Dalil lain yang juga sering dipakai adalah al'ibrah fil Islaam bil jawhar laa bil madzhar, patokan dasar dalam perjuangan Islam adalah substansinya dan bukan simbol-formalitasnya. Substansi ajaran Islam dalam bidang hukum dan konstitusi misalnya perintah tentang penegakan keadilan, kejujuran, pemimpin yang amanah, perlindungan HAM, demokrasi, dan sebagainya.
Dengan dalil ini, setelah tak berhasil memperjuangkan konstitusi dan hukum Islam secara formal dan kemudian untuk tunduk pada hukum nasional yang inklusif, umat Islam harus memperjuangkan nilai-nilai substansi ajaran Islam sehingga konstitusi dan hukum nasional itu menjadi konstitusi dan hukum yang islami.
Yang harus diperjuangkan oleh umat Islam sekarang bukanlah berlakunya hukum Islam, melainkan berlakunya hukum yang islami. Hukum Islam cenderung formal-simbolik, sedangkan hukum islami lebih menekankan pada substansi yang memuat makna-makna substantif ajaran Islam.
Hasil ijtihad jumhur ulama di Indonesia dan ulama di banyak belahan dunia menyimpulkan bahwa pilihan atas hukum nasional yang inklusif atau hukum yang bukan formal-simbolik Islam, tetapi bersubstansi islami, tidaklah berdosa; malah dianjurkan. Ini dimaksudkan agar kaum muslimin dapat hidup berdampingan, membangun kalimatun sawaa (kesamaan pandangan tentang hukum dan masalah-masalah kemasyarakatan) dengan kaum agama lain dengan menyumbangkan substansi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional.
Dengan demikian, meskipun secara formal hukum nasional kita bukanlah hukum Islam, secara substansial hukum nasional kita merupakan hukum nasional yang islami atau berwatak Islam karena memuat nilai-nilai keadilan, amanah, kejujuran, demokrasi, perlindungan HAM atau fitrah, dan sebagainya yang merupakan nilai-nilai substantif ajaran Islam. Di sini pula letak arti bahwa hukum Islam merupakan sumber hukum nasional sebagai bahan pembuatan hukum dan bukan hukum formal nasional itu sendiri.
*Moh Mahfud M.D., Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta
(Jawa Pos, Kamis, 04 September 2008)