Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

17 Mei 2009

Perlindungan Islam Terhadap Jiwa dan Harta

Allah azza wa jalla berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. An-Nisaa:29)

Agama Islam mengakui dan melindungi hak milik perseorangan, asal diperolehnya dengan jalan yang halal. Sebab itu, diperintahkan kepada orang-orang beriman, supaya jangan memakan atau mengambil harta sesamanya dengan jalan yang tidak halal. Itu namanya memakan harta yang haram. Mengambil dan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak halal itu banyak macamnya, misalnya dengan jalan mencuri, merampas, menipu, kemenangan judi, uang suap, jual beli barang yang terlarang dan riba.

Salah satu jalan yang dihalalkan pengambilan dan pertukaran harta ialah perniagaan, jual beli yang dilakukan suka sama suka antara sipenjual dan si pembeli dengan cara jujur dan tidak ada penipuan di dalamnya. Termasuk mengambil dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil, memajukan perkara ke depan pengadilan, supaya menjadi sah menurut hukum secara lahir, sedang pada hakikatnya adalah harta orang lain. Allah SWT berfirman:

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah:188)

Dapatlah dipahami bahwa putusan hakim (pengadilan) tidak dapat menjadikan yang haram itu menjadi halal menjadi haram pada sisi Tuhan, karena yang haram tetap haram dan yang halal tetap halal. Nabi saw. sesudah memberikan keputusan tentang suatu perkara harta benda, beliau pernah mengucapkan bahwa beliau memutuskannya menurut apa yang kelihatan menurut lahirnya, tetapi mungkin salah seorang di antara yang berperkara, yang satu lebih pintar lebih pandai berbicara dan lawannya, sehingga beliau memenangkan orang itu. Selanjutnya beliau memperingatkan, kalau putusan itu tidak tepat, berarti beliau memberikan kepada orang yang menang bara api. Kalau dia mau, silakan nengambi1nya sedikit atau banyak. Putusan Nabi sendiri tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Berkenaan dengan perniagaan sebagai suatu cara pemindahan dan peredaran harta yang dihalalkan, berdasarkan sukarela antara kedua belah pihak, si penjual dan si pembeli, masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan perniagaan ini. Ada perniagaan yang haram disebabkan oleh beberapa keadaan, misalnya menjual barang yang haram, barang terlarang memakan, meminum atau memakainya dan barang yang berasal dari curian dan rampasan. Seterusnya menjual barang yang tidak terang keadaannya, belum tentu baiknya atau tidak dapat dikirakan berapa jumlah yang sebenarnya. Terlarang pula mengurangi sukatan, ukuaran dan timbangan.

Berkenaan dengan mengurangi sukatan, ukuran dan timbangan ini disebuutkan dalam firman Firman Allah SWT:

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Isra’:35)

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ.الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ.وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ.

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Mutaffifin:1-3)

Dalam melakukan perniagaan ini hendaklah ada kejujuran dan tidak ada penipuan. Dalam suatu hadis disebutkan, bahwa Rasulullah saw pada suatu waktu lewat di tempat orang menjual bahan makanan dan beliau tertarik melihatnya. Kemudian beliau memasukan tangannya dalam bahan makanan itu dan tangan Beliau kelihatan basah. Nabi bertanya kepada penjual bahan makanan, apa sebabnya begitu? Dijawab karena kena hujan. Nabi bersabda: “Mengapa tidak diletakkan sebelah atas supaya kelihatan. Kemudian beliau memberikan ancaman keras, dengan sabda beliau yang artinya:

“Siapa yang menipu kita, dia bukan golongan kita”. (HR. Muslim).

Kaurn saudagar apabila menjual barang yang ada cacatnya, hendaklah hal itu diterangkan dan siapa yang mengetahuinya wajib pula menerangkannya kepada si pembeli. Sabda Beliau yang artinya:

“Seseorang menjual barang yang ada cacatnya, wajib menjelaskan cacat itu dan bagi orang yang mengetahuinvu, wajib pula menjelaskannya”.(Diriwayatkan oleh Hakim dan Baihaqi).

Di samping perlindungan terhadap hak milik, diperlukan pula perlindungan terhadap nyawa. Sebab itu terlarang mumbunuh orang, apalagi membunuh diri sendiri, karena Allah itu sangat sayang kepada hambaNya. Membunuh itu adalah suatu kejahatan dan dosa besar, bisa menggemparkan dan mengganggu keamanan masyarakat. Sebab itu, dalam ayat lain disebutkan, bahwa siapa yang melanggar hak milik dan membunuh orang kepadanya diancam akan beroleh siksaan neraka di hari akhirat dan hukum kisas di dunia.

Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

”Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. An-Nisaa:30)

Apabila perlindungan terhadap hak milik dan nyawa dapat berjalan dengan baik, tentu akan terciptalah keamanan dan ketenteraman dalam masyarakat. Sebaliknya dengan tidak ada perlindungan terhadap hak milik dan nyawa, akan terjadilah kekacauan dan silang sengketa yang tidak habis-habisnya.

Makna Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi

Allah berfirman kepada para malaikat ketika akan menciptakan Adam, ''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi''. (Al-Baqarah:30). Banyak kaum muslimin yang keliru dalam memahami ayat ini, yakni sebagai wakil/pengganti Allah dalam mengurus bumi. Makna khalifah yang benar adalah kaum yang akan menggantikan satu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi, demikian penjelasan dalam ringkasan Tafsir Ibnu Katsier

''Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'' Mereka berkata: ''Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?''. Tuhan berfirman: ''Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui''(Al-Baqarah:30)

Allah Ta'ala memberitahukan ihwal pemberian karunia kepada Bani Adam dan penghormatan kepada mereka dengan membicarakan mereka di al-Mala'ul Ala, sebelum mereka diadakan. Maka Allah berfirman, ''Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat''. Maksudnya, Hai Muhammad, ceritakanlah hal itu kepada kaummu'', ''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi'', yakni suatu kaum yang akan menggantikan satu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, ''Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi'' (Fathir: 39). Itulah penafsiran khalifah yang benar, bukan pendapat orang yang mengatakan bahwa Adam merupakan khalifah Allah di bumi dengan berdalihkan firman Allah, ''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.''

Abdur Razaq, dari Muammar, dan dari Qatadah berkata berkaitan dengan firman Allah, ''Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya'', Seolah-olah malaikat memberitahukan kepada Allah bahwa apabila di bumi ada makhluk, maka mereka akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di sana. Perkataan malaikat ini bukanlah sebagai bantahan kepada Allah sebagaimana diduga orang, karena malaikat disifati Allah sebagai makhluk yang tidak dapat menanyakan apa pun yang tidak diizinkan-Nya.

Ibnu Juraij berkata bahwa sesungguhnya para malaikat itu berkata menurut apa yang telah diberitahukan Allah kepadanya ihwal keadaan penciptaan Adam. Maka malaikat berkata, ''Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu oranig yang akan membuat kerusakan padanya?''.

Ibnu Jarir berkata, ''Sebagian ulama mengatakan, 'Sesungguhnya malaikat mengatakan hal seperti itu, karena Allah mengizinkan mereka untuk bertanya ihwal hal itu setelah dibentahukan kepada mereka bahwa khalifah itu terdiri atas keturunan Adam. Mereka berkata, ''Mengapa Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya?'' Sesungguhnya mereka bermaksud mengatakan bahwa di antara keturunan Adam itu ada yang melakukan kerusakan. Pertanyaan itu bersifat meminta informasi dan mencari tahu ihwal hikmah. Maka Allah berfirman sebagai jawaban atas mereka, Allah berkata, ''Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui,'' yakni Aku mengetahui kemaslahatan yang baik dalam penciptaan spesies yang suka melakukan kerusakan seperti yang kamu sebutkan, dan kemaslahatan itu tidak kamu ketahui, karena Aku akan menjadikan di antara mereka para nabi, rasul, orang-prang saleh, dan para wali.

Syaikh Muhammad Nasib Ar-Rifa’i berkata dalam ringkasan Tafsir Ibnu Katsiernya :
Saya berpendapat bahwa konsep khalifah mengharuskan secara pasti tiadanya pihak yang digantikan, baik tiadanya itu secara total atau hanya sebagian, baik tiadanya itu karena kematian, perpindahan, dicopot, mengundurkan diri, atau karena sebab lain yang membuat pihak yang digantikan tidak dapat melanjutkan aktivitasnya. Misalnya Anda berkata: ''Abu Bakar merupakan khalifah Rasulullah shalallahu wa’alaihi wa sallam'' yakni setelah Rasul meninggal. Atau Anda berkata: ''Rasulullah menjadikan Ali sebagai khalifah di Madinah,'' yaitu ketika Nabi shalallahu wa’alaihi wa sallam pergi dari Madinah untuk melakukan salah satu perang. Bila konsep ini telah jelas dan melahirkan kepuasan, maka orang yang merasa puas tadi akan menemukan kekeliruan pendapat orang yang mengatakan bahwa Adam dijadikan Allah sebagai khalifah-Nya di bumi. Kekeliruan itu disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
  1. Adalah mustahil tiadanya Allah dari kerajaan-Nya, baik secara total maupun sebagian. Dia senantiasa mengurus langit dan bumi dan tidak ada suatu perkara seberat Dzarrah pun yang ada di langit dan di bumi yang terlepas dari pengetahuan-Nya. Jadi, Dia tidak membutuhkan khalifah, wakil, pengganti, dan tidak pula butuh kepada pihak yang ada di dekat-Nya. Dia Mahakaya dari semesta alam.


  2. Jika keberadaan Adam atau jenis manusia itu layak untuk menggantikan Allah, maka dia harus memiliki sifat-sifat yang menyerupai sifat-sifat Allah Ta'ala, dan Mahasuci Allah dari sifat-sifat yang dapat diserupai manusia. Jika manusia, sebagaimana seluruh makhluk lainnya, tidak menyandang sifat-sifat yang menyerupai sifat-sifat Allah, bahkan makhluk tidak memilikinya, sedangkan Allah Maha Sempurna pada seluruh sifat-Nya, maka terjadilah ketidaksamaan secara total. Maka bagaimana mungkin orang yang berkekurangan menggantikan pihak Yang Mahas Sempurna? Maha Suci Allah dari adanya pihak yang menandingi dan menyerupai. ''Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.'' (asy-Syuura: 11)


  3. Adalah sudah pasti bahwa manusia tidak layak menjadi khalifah atau wakil Allah, bahkan hal sebaliknyalah yang benar, yaitu Allah sebagai khalifah dan wakil. Simaklah beberapa firman berikut ini. ''Cukuplah Allah menjadi Wakil (Penolong) kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung''(Ali Imran: 173). ''Dan Allah Maha Mewakili segala sesuatu.''(Hud: 12). ''Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.''(At-Thalaq: 3). ''Dan cukuplah Allah sebagai Wakil''(An-Nisa': 81) Dalam hadits mengenai doa bepergian, Nabi shalallahu wa’alaihi wa sallam bersabda, ''Ya Allah, Engkaulah yang menyertai perjalanan dan yang menggantikan dalam mengurus keluarga (yang ditinggalkan)''


  4. Tidak ada satu dalil pun, baik yang eksplisit, implisit, maupun hasil inferensi, baik di dalam Al-Qur'an maupun Sunnah yang menyatakan bahwa manusia merupakan khalifah Allah di burni, karena Dia berfirman, ''Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi''. Ayat ini jangan dipahami bahwa Adam ‘alaihis salam adalah khalifah Allah di bumi, sebab Dia bertirman, ''Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di bumi.'' Allah mengatakannya demikian, dan tidak mengatakan, ''Sesungguhnya Aku akan menjadikan, untuk-Ku, seorang khalifah di bumi'', atau Dia mengatakan, ''Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah bagi-Ku di bumi'', atau ''menjadikan khalifah-Ku''. Dari mana kita menyimpulkan bahwa Adam atau spesies manusia sebagai khalifah Allah di bumi? Ketahuilah, sesungguhnya urusan Allah itu lebih mulia dan lebih agung daripada itu, dan Maha Tinggi Allah dari perbuatan itu. Namun, mayoritas mufasirin mengatakan, ''Yakni, suatu kaum menggantikan kaum yang lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi.''

    Ulama lain menafsirkan ayat di atas dengan ''menjadikan sebagai khalifah bagi makhluk sebelumnya yang terdiri atas jin atau makhluk lain yang mungkin berada di muka bumi yang ada sebelum spesies manusia.

    Penafsiran yang pertama adalah lebih jelas karena dikuatkan dengan AlQur'an dan Sunnah. Adapun orang yang berpandangan bahwa yang dimaksud dengan khilafah ialah khilafah dalam penetapan hukum semata, maka pandangan ini tidak dapat diterima. Karena hukum yang valid ialah yang bersumber dari wahyu yang telah ditetapkan Allah, bukan hukum si khalifah, namun hukum Allah, dan hukum itu merupakan sarana penghambaan kepada Allah. Alangkah jauhnya jarak antara ibadah dengan perwakilan dan kekhilafahan. Jadi, jelaslah bahwa orang yang menghukumi itu tiada lain hanyalah menetapkan hukum Allah, bukan inenggantikan-Nya.


Referensi:
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsier, Syaikh Muhammad Nasib Ar-Rifa'i

Beramal dengan hadits yang tingkat kedhaifannya ringan?

Syaikh Al-Bany ditanya:Sebagian ahli hadits di dalam kitab-kitab mereka membolehkan mengamalkan hadits dhaif yang derajat kelemahannya ringan. Bagaimana pendapatAnda dalam perkara ini?

SYAIKH AL-BANY DITANYA:
Sebagian ahli hadits di dalam kitab-kitab mereka membolehkan mengamalkan hadits dhaif yang derajat kelemahannya ringan. Bagaimana pendapatAnda dalam perkara ini?

JAWABAN

Pertama:
Tidak didapati satu dalilpun yang membolehkan kita mengamalkan hadits dha'if (lemah) walaupun derajat kelemahannya ringan.

Kedua:
Pendapat tentang bolehnya mengamalkan hadits dha'if berakibat munculnya suatu bid'ah. Maka setiap amalan atau doa yang tidak berdasarkan hadits yang shahih menurut ulama hadits, amalan tersebut adalah bid'ah. Setiap ketetapan hukum tidak boleh berdasarkan hadits dha'if, tetapi harus berdasarkan hadits shahih. Hadits dha'if hanya bisa dipakai untuk satu hal yaitu fadhaailul a'maal (keutamaan-keutamaan aural). Pendapat yang mengatakan bahwa hadits dha'if dapat diamalkan dalam fadhaadul a'maal ini pun merupakan suatu pendapat yang bertolak belakang antara awal dan akhirnya. Mari kita lihat, ketika kita mengamalkan hadits-hadits dha'if dalam fadhaailul a'maal; apakah amalan kita itu berdasarkan hadits-hadits dha'if tersebut? Atau berdasarkan hadits lain? Kalau jawabannya berdasarkan hadits dha'if berarti kita menetapkan suatu hukum berdasarkan hadits dha'if. Padahal menetapkan suatu hukum berdasarkan hadits-hadits dha'if ditentang oleh orang yang membolehkan mengamalkan hadits dha'if dalam fadhaailul a'maal. Dan jika jawabannya berdasarkan hadits yang shahih maka buat apa kita membawa hadits-hadits yang dha'if tadi? Sebab hadits-hadits yang dha'if tersebut ada atau tidak ada adalah sama saja, sama sekali tidak ada pengaruhnya. Amal itu hanya akan berdasarkan kepada hadits yang shahih.

Oleh karena itu kalimat: Hadits dha'if diamalkan dalarn fadhaailul a'maal tidak ada faidahnya sedikitpun. Karena kritik ilmiah dalam hadits menerangkan bahwa kalimat ini secara mutlak tidak mungkin untuk dapat dianut selamanya.

Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Media Hidayah

Hadits Surga di bawah telapak kaki ibu

Kita sering mendengar hadits “Surga berada di bawah telapak kaki ibu”, bagaimana kedudukan hadits ini? Syaikh Al-Bany dalam Silisilatu Ahaadits Ad-Dhaifah menjelaskan tentang 2 riwayat, sebuah riwayat merupakan hadits maudhu, sedangkan riwayat yang lain merupakan hadits hasan, oleh karena itu hendaknya kita berpegang pada matan hadits yang hasan tersebut.

الجنة تحت أقدام الأمهات ، من شئن أدخلن ، و من شئن أخرجن
Surga berada di bawah telapak kaum ibu. Barangsiapa dikehendakinya maka dimasukannya, dan barangsiapa dikehendaki maka dikeluarkan darinya

Hadits ini hadits maudhu' (palsu). Telah diriwayarkan oleh Ibnu Adi (I/325) dan juga oleh al-Uqaili dalam adh-Dhu'afa dengan sanad dari Musa bin Muhammad bin Atha', dari Abul Malih, dari Maimun, dari Abdullah Ibnu Abbas radhiallahu’anhu.. Kemudian al-Uqaili mengatakan bahwa hadits ini munkar. Bagian pertama dari riwayat tersebut mempunyai sanad lain, namun mayoritas rijal sanadnya majhul.

Dalam masalah ini, saya kira cukupi dengan riwayat yang di keluarkan oleh Imam Nasa'i dan Thabrani dengan sanad hasan, yaitu kisah seseorang yang datang menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya meminta izin untuk ikut andil berjihad bersama beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bertanya, Adakah engkau masih mempunyai ibu? Orang itu menjawab, Ya, masih. Beliaupun kemudian bersabda,

فالزمها فإن الجنة تحت رجليها
Bersungguh-sungguhlah dalam berbakti kepada ibumu, karena sesungguhnya surga itu berada di bawah kedua kakinya (*)


Referensi
Hadits ke 593 dari kitab Silsilatu Ahaaditsu Ad-Dhaifah wal Maudhuah wa Atsarus Sayyi fil Ummah karya Syaikh Al-Bany, edisi terjemahan, Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu jilid-2, cetakan Gema Insani Press

(*) Nabi mempertimbangkan anak tersebut untuk ikut berjihad karena belum dewasa.

Pokok-Pokok Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah merupakan aqidah Islam yang murni sesuai dengan dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahamanan Sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Dengan landasan pokok-pokok inilah ahlus sunnah wal jama'ah beriman, beraqidah dan berda'wah.

Oleh: Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sha'di.

Ahlus sunnah wal jamaah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya serta beriman kepada hari akhir dan taqdir yang baik dan yang buruk.

Mereka adalah yang bersaksi bahwa Allah adalah Rabb dan Ilah yang diibadahi, Dia Maha Esa dengan semua kesempurnaan-Nya. Mereka beribadah dan mengikhlaskan dien hanya kepada-Nya.

Mereka yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah adalah Sang Pencipta, Yang Mengadakan, Yang Membentuk, Yang Memberi Rizki, Yang Maha Memberi dan Maha Menahan (rizki). Dia mengurusi semua urusan.

Dia adalah Ilah yang diibadahi, Yang diesakan dan yang menjadi tujuan. Dialah Al-Awwalu (yang pertama), tiada lagi sesuatupun sebelum-Nya. Dialah Al-Akhiru (yang akhir) tiada sesuatupun setelah-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi, tiada lagi yang di atas-Nya dan Dialah Al-Batin (yang tersembunyi) yang tiada sesuatupun yang lebih tersembunyi dari pada Dia.

Dialah Yang Maha Tinggi, dengan semua arti dan makna yang terkandung didalamnya. Maha Tinggi dalam Dzat-Nya, Taqdir-Nya dan dalam kekuasaan-Nya.

Dialah yang bersemayam di atas 'Arsy. Dia bersemayam sesuai dengan keagungan, kemulyaan dan ketinggian-Nya yang mutlak. Ilmu-Nya meliputi segala yang tampak dan yang tersembunyi, yang tinggi dan yang rendah tentang hamba-Nya.

Dia mengetahui semua keadaan hamba. Dia Maha dekat lagi Mujib (Mengabulkan do'a).

Sesungguhnya Dzat-Nya tidak butuh kepada makhluq sedangkan semua makhluq membutuhkan-Nya setiap saat. Dia Maha Lemah-lembut dan Penyayang kepada hamba, yang tiada nikmat dien, dunia dan terhindar dari siksa kecuali dari-Nya. Dialah pemberi nikmat.

Sebagian dari nikmat-Nya, ketika sepertiga malam Dia turun ke langit dunia untuk melihat hajat hamba-Nya. Dia berfirman: Tidaklah hamba-Ku meminta kecuali hanya kepada-Ku. Barangsiapa yang berdo'a kepada-Ku niscaya Aku kabulkan, barangsiapa yang meminta pasti Aku beri, barangsiapa meminta ampun pasti Aku ampuni, (yang demikian itu sampai terbit fajar). Dia turun menurut kehendak-Nya dan melakukan apa yang Dia Kehendaki. Tiada sesuatupun yang menyamai-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Ahlus sunnah wal jama’ah meyakini bahwa Allah adalah Al-Haakim' yang di dalam syariat-Nya terdapat hikmah yang sempurna. Tiada ciptaan yang sia-sia. Tidaklah Dia membuat syareat (aturan) kecuali untuk kemaslahatan makhluq.

Dialah At-Tawwab Yang Maha Menerima taubat hamba dan mengampuni kesalahan mereka. Dia Yang Maha Memberi ampunan dari dosa-dosa hamba-Nya yang bertaubat, meminta ampun dan kembali kepada-Nya.

Dialah Asy-Syakur, Dia membalas amalan hamba meskipun amalan itu sedikit dan dia menambah karunia-Nya kepada hamba yang bersyukur.

Ahlus sunnah wal jama'ah mensifati Allah dengan apa yang Dia sifat-kan pada diri-Nya sendiri dan yang disifatkan oleh rasul.

Sifat dzatiyah seperti yang Maha Hidup lagi Sempurna yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, Maha Sempurna Qudrah-Nya, Maha Agung lagi Maha Besar, yang Maha Mulia lagi Terpuji-yang segala puji mutlak hanya milik-Nya.

Dan diantara sifat-sifat fi'liyah-Nya, yang berkaitan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, seperti sifat Rahmah (kasih sayang), Ridha, benci dan sifat kalam (berbicara). Dia berbicara dengan apa yang Dia kehendaki dan dengan cara yang Dia kehendaki. Ucapan-Nya takkan pernah habis.

Sesungguhya Al-Qur' an adalah kalamullah-bukan makhluk-yang dari-Nya berasal dan kepada-Nya kan kembali.

Sesungguhnya Dia senantiasa dan terus bersifat, karena Dia mengerjakan yang Dia inginkan dan berbicara dengan apa yang Dia kehendaki. Dia memutuskan perkara hamba-Nya dengan hukum yang ditentukan-Nya, baik berupa hukum syar'i maupun berupa balasan. Dialah Al-Hakiim yang menghakimi, dan Dialah Al-Maalik yang menguasai. Selain Dia adalah dihakimi dan di kuasai. Hamba tidak akan bisa keluar dari hukum dan kekuasaan-Nya.

Ahlus sunnah wal jama’ah beriman kepada apa yang dikabarkan Al-Qur'an dan Hadits mutawatir yaitu: Bahwasannya mereka akan melihat wajah Rabbnya dengan pandangan yang jelas. Dan kenikmatan memandang-Nya adalah sebesar-besar kenikmatan dan keberhasilan mendapat ridha-Nya adalah sebesar-besar kenikmatan.

Mereka meyakini bahwa orang yang mati tanpa ada keimanaan tauhid di dalam hatinya, maka dia kekal di Neraka jahannam selama-lamanya. Sedangkan pelaku dosa besar jika dia mati tanpa taubat dan tak bisa melebur dosa-dosanya serta tidak mendapat syafaat, jika ia masuk neraka, maka tidak kekal di dalamnya. Dan tak seorangpun yang kekal di dalam neraka kalau di dalam hatinya masih terdapat iman walaupuri hanya sebesar biji sawi.

Bahwasanya iman itu mencakup keyakinan hati dan amalan hati, amalan anggota badan dan ucapan lisan. Barangsiapa yang bisa mewujudkannya maka ia menjadi mukmin sejati yang berhak mendapat balasan dan selamat dari siksa. Barangsiapa yang menguranginya maka imannya berkurang menurut kadar pengurangannya. Oleh karena itu iman bertambah dengan ketaatan dan amalan baik dan akan berkurang dengan maksiat dan amalan buruk.

Karakter dasar mereka adalah selalu berusaha dan bersungguh-sungguh dalam hal yang bermanfaat baik urusan die maupun dunia dengan meminta tolong kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Semua gerak-gerik mereka selalu dikerjakan dengan ikhlas dan mengikuti petunjuk rasul serta memberi nasehat kepada ummat dengan petunjuk rasul.

Mereka bersaksi bahwa Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Allah mengutusnya dengan petunjuk dan dien yang hak agar dien ini menang diantara dien-dien yang lain. Beliau adalah manusia yang (lebih berhak dihormati) oleh kaum muslimin daripada diri mereka sendiri, dan beliau adalah penutup para nabi. Beliau diutus untuk menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan kepada jin dan manusia. Sebagai penyeru (untuk bertauhid) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan pembawa lampu yang terang dengan izin-Nya. Beliau diutus untuk kemaslahatan dien dan dunia, agar hamba beribadahnya kepada-Nya dan meminta rizki hanya kepada-Nya jua.

Mereka mengetahui bahwa beliau adalah orang yang paling berilmu, paling jujur, paling banyak memberi nasehat dan paling agung ucapannya diantara manusia. Sehingga mereka mengagungkan dan mencintainya. Mereka lebih mendahulukan cintanya kepada beliau daripada kepada semua makhluk. Mereka berdien dengan mengikuti beliau, baik pokok maupun cabangnya.
Mereka lebih mendahulukan ucapan dan petunjuk beliau daripada ucapan dan petunjuk orang lain.

Mereka yakin bahwasannya Allah mengumpulkan sifat-sifat utama dan kepribadian yang sempurna pada diri beliau, yang tidak pernah diberikan kepada yang lain. Kedudukan beliau paling tinggi dan paling agung diantara makhluq, serta paling sempurna fadilahnya diantara mereka. Tiada satu kebaikanpun yang tidak ditunjukkan kepada ummatnya, dan tiada satu keburukanpun kecuali telah beliau peringatkan agar menjauhinya.

Mereka juga beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada semua rasul yang diutus. Mereka tidak membedakan salah satu diantara mereka.

Mereka beriman kepada semua taqdir. Tidaklah semua amal yang baik dan yang buruk kecuali Ilmu Allah meliputinya dan Qalam-Nya mencatat. Semua berlaku di atas kehendak-Nya, dan semua terikat dengan hikmah-Nya. Dia juga menciptakan (memberi) kehendak dan kemampuan kepada hamba yang dengannya mereka berbicara dan bekerja menurut kehendak mereka. Allah tidak memaksa hamba terhadap suatu hal tapi disuruh memilihnya. Bagi seorang mukmin lebih memilih dan mencintai keimanan serta dijadikannya sebagai perhiasan di dalam hatinya dan benci terhadap kekufuran, kefasikan, dan kedurhakaan.

Dan landasan pokok ahlus sunnah adalah mereka berdien dengan (taat kepada) nasehat Allah, kitab-Nya, para pemimpin umat dan kepada semua kaum Muslimin. Mereka selalu memerintahkan yang ma'ruf dan melarang yang mungkar sesuai dengan yang diwajibkan dalam syariat. Memerintahkan supaya berbuat baik dengan orang tua dan menyambung silaturahim, berbuat baik kepada tetangga, para penguasa, para pejabatnya dan kepada semua saja yang mempunyai hak.

Mereka selalu menyeru kepada akhlaq yang mulia, kepada kebaikan dan melarang akhlak yang jelek lagi hina.

Ahlus sunnah meyakini bahwa orang mukmin yang paling sempurna iman dan keyakinannya adalah yang paling baik akhlak dan amalnya, paling jujur perkataannya, yang lebih cenderung pada kebaikan keutamaan serta menjauhkan diri dari setiap kejelekan.

Mereka selalu memerintahkan untuk menegakkan syariat-syariat dien dengan apa yang datang dari rasul tentang sifat dan kesempurnaannya serta melarang merusakkan dan merobohkan dien.

Ahlus sunnah memandang bahwa jihad fi sabilillah tetap wajib bersama pemimpin yang baik maupun yang fajir. Jihad adalah puncak ketinggian Islam. Jihad dengan ilmu dan hujah, jihad dengan senjata merupakan fardhlu bagi setiap muslim dengan segala kemampuannya guna membela dien.

Mereka selalu menghimbau agar kaum muslimin satu kata dan berusaha untuk saling mendekatkan hati serta saling berkasih sayang dengan kaum muslimin. Mereka melarang perpecahan, benci, permusuhan dan segala sarananya.

Mereka melarang menganiaya manusia baik darah, harta, maupun kehormatan mereka serta hak-hak mereka, memerintah berbuat adil dan jujur dalam hubungan mu'amalah dengan sesama, serta menganjurkan untuk senantiasa berbuat baik dan mencari keutamaan dalam mu'amalah itu.

Mereka menyakini bahwa sebaik-baik umat adalah umat Muhammad dan sebaik-baik ummat Muhammad adalah para sahabat, khususnya Khulafaur Rasyidin, sepuluh orang yang dijamin masuk surga, ahlul badr, peserta bai'atur ridwan dan orang-orang terdahulu dari Muhajirin dan Anshar. Ahlus sunnah mencintai mereka semua, dan mereka tunduk kepada Allah dengan cara itu.

Mereka menyebarkan kebaikan para sahabat dan mendiamkan kejelekan mereka.

Ahlus sunnah berdien karena Allah dengan menghormati para ulama sebagai petunjuk jalan, para pemimpin yang adil dan orang-orang yang mempunyai maqam (kedudukan) yang tinggi dalam agama, serta mereka yang mempunyai keutamaan diantara kaum muslimin. Mereka memohon kepada Allah supaya terhindar dari keraguan, kesyirikan, perpecahan, kenifakan, akhlak yang jelek dan mereka berdo'a supaya diteguhkan dalam dien nabi Muhammad sampai akhir hayat.

Dengan landasan pokok-pokok inilah ahlus sunnah wal jama'ah beriman, beraqidah dan berda'wah.

Diambil dari Qoulusy Syadid, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sha'di.

Membongkar Kedok Dukun Berlabel Ustadz/Kyiai

Metode ini nampaknya tidak penting. Namun sengaja kami kemukakan, karena sebagian kaum muslimin banyak yang tidak bisa membedakan antara penyembuhan secara Qurani dengan penyembuhan secara sihir.

Ada cukup banyak cara dan sangat bervariatif, yang semuanya mengandung kesyirikan atau kekufuran nyata. Dan Insya Allah, kami akan menyebutkan sebagian di antaranya, yakni delapan cara yang disertai dengan jenis kesyirikan atau kekufuran yang terkandung pada setiap cara tersebut secara ringkas. Hal ini sengaja kami kemukakan, karena sebagian kaum muslimin banyak yang tidak bisa membedakan antara penyembuhan secara Qurani dengan penyembuhan secara sihir. Yang pertama adalah cara imani ( keimanan ) dan yang kedua cara syaithani ( atas petunjuk syaitan ). Dan masalahnya akan semakin kabur bagi orang-orang tidak berilmu, di mana tukang sihir itu membacakan mantra dengan pelan sementara dia akan membaca ayat Al Qur’an dengan kencang dan terdengar oleh pasien sehingga pasien itu mengira bahwa orang itu mengobatinya dengan menggunakan ayat-ayat Al Qur’an, padahal kenyataannya tidak demikian. Sehingga si pasien itu akan menerima perintah tukang sihir sepenuhnya.
Dan tujuan dari penyampaian dan penjelasan cara ini adalah untuk memperingatkan kaum muslimin agar mereka berhati-hati terhadap berbagai jalan kejahatan dan kesesatan, dan agar tampak jelas jalan orang-orang yang berbuat kejahatan.

  1. Cara iqsam (bersumpah atas nama jin dan syaitan)
  2. Cara adz-dzabh, yaitu dengan cara menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada jin dan syaitan.
  3. Cara sufliyah, yaitu menempelkan ayat-ayat Al Qur’an atau hadits di bagian bawah kaki.
  4. Cara najasah, yaitu menulis ayat-ayat Al Qur’an dengan benda yang najis.
  5. Cara tankis, yaitu dengan cara berkomunikasi dengan bintang –bintang.
  6. Cara al-kaff, yaitu melihat melalui telapak tangan.
  7. Cara al-atsar, yaitu dengan menggunakan benda bekas dipakai.

Beberapa Tanda yang Dapat Dijadikan Barometer untuk Mengenali Tukang Sihir

Jika anda mendapatkan satu tanda dari tanda-tanda berikut ini pada orang-orang yang melakukan pengobatan, maka tidak diragukan lagi dia adalah seorang tukang sihir. Berikut ini tanda-tanda tersebut :

  1. Menanyakan nama si pasien dan nama ibunya.

  2. Meminta salah satu dari beberapa benda bekas dipakai si pasien ( baik itu baju, topi, sapu tangan, atau kaos ).

  3. Terkadang meminta hewan dengan kriteria tertentu untuk disembelih dengan tidak menyebut nama Allah padanya, dan terkadang darah binatang sembelihan itu dioleskan pada beberapa tempat penyakit yang dirasakan oleh pasien atau melempar binatang itu ke tempat puing-puing bangunan.

  4. Penulisan mantra-mantra tertentu.

  5. Membaca jimat-jimat dan mantra-mantra yang tidak dapat dipahami.

  6. Memberi suatu pembatas yang terdiri dari empat persegi kepada pasien, yang di dalamnya terdapat huruf-huruf atau angka-angka.

  7. Dia menyuruh pasien untuk mengurung diri dari orang-orang untuk waktu tertentu di suatu ruangan yang tidak dimasuki sinar matahari, yang kaum awam menyebutnya dengan hijbah.

  8. Terkadang si penyihir itu menyuruh pasien untuk tidak menyentuh air untuk waktu tertentu, yang paling sering selama empat puluh hari. Dan tanda itu menunjukkan bahwa jin yang melayaninya adalah beragama Nasrani.

  9. Memberi beberapa hal kepada pasien untuk ditimbun di dalam tanah.

  10. Memberi pasien beberapa kertas untuk dibakar dan mengeluarkan asap.

  11. Berkomat-kamit dengan kata-kata yang tidak dapat dipahami.

  12. Terkadang si penyihir memberitahu pasien nama dan kampung halaman pasien tersebut serta permasalahan yang akan dikemukakannya.

  13. Si penyihir juga menuliskan untuk pasien beberapa huruf terputus-putus di sebuah kertas ( jimat ) atau di lempengan tembikar putih, lalu menyuruh pasien melarutkan dan meminumnya.

Jika anda megetahui bahwa seseorang adalah tukang sihir, maka hindarilah dan janganlah Anda mendatanginya, dan jika tidak, maka Anda termasuk dalam sabda Nabi: “Barangsiapa mendatangi seorang dukun, lalu dia membenarkan apa yang dikatakannya, berarti dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.’’ ( diriwayatkan oleh Al Bazzar, dengan beberapa penguatnya, hadits ini hasan dan diriwayatkan juga oleh Ahmad dan Al Hakim, dishahihkan oleh Al Albani : lihat Shahihul Jaami’ ( no. 5939 ). )

Keutamaan Zikir

Perbanyak Amalan Zikir, karena itu akan mempertebal iman dan islam mu. Untuk itu, beberapa keutamaan zikir adalah :

1. Apabila kamu melewati taman-taman surga makan dan minumlah sampai kenyang. Para sahabat lalu bertanya, Apa yang dimaksud taman-taman surga itu, ya Rasulullah? Beliau menjawab, Kelompok zikir (Kelompok orang yang berzikir atau majelis taklim). (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

2. Menyebut-nyebut Allah adalah suatu penyembuhan dan menyebut-nyebut tentang manusia adalah penyakit (artinya penyakit akhlak). (HR. Al-Baihaqi)

3. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya, kalau kamu selamanya bersikap seperti saat kamu ada bersamaku dan mendengarkan zikir, pasti para malaikat akan bersalaman dengan kamu di tempat tidurmu dan di jalan-jalan yang kamu lalui. Tetapi, wahai Handhalah (nama seorang sahabat) kadangkala begini dan kadangkala begitu. (Beliau mengucapkan perkataan itu kepada Handhalah hingga diulang-ulang tiga kali). (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

4. Rasulullah Saw menyebut-nyebut Allah setiap waktu (saat). (HR. Muslim)

5. Perumpamaan orang yang berzikir kepada Robbnya dan yang tidak, seumpama orang hidup dan orang mati. (HR. Bukhari dan Muslim)

6. Nyanyian dan permainan hiburan yang melalaikan menumbuhkan kemunafikan dalam hati, bagaikan air menumbuhkan rerumputan. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya, sesungguhnya Al Qur'an dan zikir menumbuhkan keimanan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. (HR. Ad-Dailami)

7. Dua kalimat ringan diucapkan lidah, berat dalam timbangan dan disukai oleh (Allah) Arrohman, yaitu kalimat: Subhanallah wabihamdihi, subhanallahil 'Adzhim (Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya, Maha suci Allah yang Maha Agung). (HR. Bukhari)


8. Ada empat perkara, barangsiapa memilikinya Allah akan membangun untuknya rumah di surga, dan dia dalam naungan cahaya Allah yang Maha Agung. Apabila pegangan teguhnya Laailaha illallah. Jika memperoleh kebaikan dia mengucapkan Alhamdulillah, jika berbuat salah (dosa) dia mengucapkan Astaghfirullah dan jika ditimpa musibah dia berkata Inna lillahi wainna ilaihi roji'uun. (HR. Ad-Dailami)

9. Maukah aku beritahu amalanmu yang terbaik, yang paling tinggi dalam derajatmu, paling bersih di sisi Robbmu serta lebih baik dari menerima emas dan perak dan lebih baik bagimu daripada berperang dengan musuhmu yang kamu potong lehernya atau mereka memotong lehermu? Para sahabat lalu menjawab, Ya. Nabi Saw berkata,Zikrullah. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)


10. Menang pacuan Almufarridun. Para sahabat bertanya, Apa Almufarridun itu? Nabi Saw menjawab, Laki-laki dan wanita-wanita yang banyak berzikir kepada Allah. (HR. Muslim)


Penjelasan:
Almufarid ialah orang yang gemar zikrullah dan selalu mengamalkannya dan tidak peduli apa yang dikatakan atau diperbuat orang terhadapnya.

11. Seorang sahabat berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak bagiku. Beritahu aku sesuatu yang dapat aku menjadikannya pegangan. Nabi Saw berkata, Biasakanlah lidahmu selalu bergerak menyebut-nyebut Allah (zikrullah). (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

12. Sebaik-baik zikir dengan suara rendah dan sebaik-baik rezeki yang secukupnya. (HR. Abu Ya'la)

Penjelasan:
Rezeki yang secukupnya artinya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan dan tidak berlebih-lebihan.

13. Di antara ucapan tasbih Rasulullah Saw ialah :

Maha suci yang memiliki kerajaan dan kekuasaan seluruh alam semesta, Maha suci yang memiliki kemuliaan dan kemahakuasaan, Maha suci yang hidup kekal dan tidak mati. (HR. Ad-Dailami)

14. Aku bertanya, Ya Rasulullah, apa keuntungan dan keberuntungan yang diperoleh dari majelis zikir (majelis taklim)? Nabi Saw menjawab, Keuntungan dan keberuntungan yang diperoleh dari majelis zikir (majelis taklim) ialah surga. (HR. Ahmad)

15. Tiada amal perbuatan anak Adam yang lebih menyelamatkannya dari azab Allah daripada zikrullah. (HR. Ahmad)

16. Wahai Aba Musa, maukah aku tunjukkan ucapan dari perbendaharaan surga? Aku menjawab, Ya. Nabi berkata, La haula wala Quwwata illa billah. (Tiada daya upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad)

Bolehkah melihat rambut wanita yang akan dipinang?

yaikh Al-Bany ditanya: Bolehkah seorang pria melihat lebih dari sekedar muka dan telapak tangan wanita yang akan dipinang? Contohnya rambutnya?

Syaikh Al-Bany ditanya:
Bolehkah seorang pria melihat lebih dari sekedar muka dan telapak tangan wanita yang akan dipinang? Contohnya rambutnya?

Jawaban
Menurut yang saya ketahui, wallahu a'lam, seorang pria boleh melihat/memandang rambut wanita yang akan dipinangnya dengan syarat tanpa sepengetahuan si wanita.

Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
Jika terbersit dalam hati kalian (keinginan) untuk melamar seorang wanita, maka hendaklah ia memandang sesuatu yang bisa mendorongnya untuk menikahi wanita tersebut.

Adapun jika dengan sepengetahuan wanita yang akan dipinang, maka yang boleh dilihat adalah hanya muka dan kedua telapak tangannya.

Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Media Hidayah

Menyentuh dan membaca mushaf tanpa wudhu

Syaikh Al-Bany ditanya:
Apakah boleh bagi seorang pria ataupun wanita untuk membaca Al Qur'an dan menyentuh mushaf Al-Qur'an tanpa berwudhu'?

Syaikh Al-Bany ditanya:
Apakah boleh bagi seorang pria ataupun wanita untuk membaca Al Qur'an dan menyentuh mushaf Al-Qur'an tanpa berwudhu'?

Jawaban:
Membaca Al-Qur'an tanpa berwudhu adalah suatu perkara yang dibolehkan, karena tidak ada suatu nash dalam Al-Kitab ataupun Sunnah yang melarang membaca Al-Qur'an tanpa bersuci.

Dan tidak ada bedanya, dalam hal ini, antara pria dan wanita, bahkan tidak ada bedanya dalam hal ini, antara seorang pria yang telah bersuci, ataupun yang belum, dari perempuan yang sedang haid ataupun tidak.

Sebagian dalilnya adaiah hadits Aisyah dalam Shahih Muslim bahwa Nabi saw berdzikir kepada Allah dalam segala keadaan.

Yang dilarang dalam syariat bagi wanita haid adalah shalat. Pelarangan ini mengandung hikmah yang sangat dalam, yaitu agar ia beribadah kepada Allah dalam keadaan suci sebagaimana sebelum datangnya haid. Kita tidak boleh mempersempit ibadah lain yang dibolehkan sebelum haid. jika kemudian ia dilarang shalat, ini bukan berarti ia dilarang dari ibadah yang lain. Kita harus melapangkan apa yang telah Allah lapangkan bagi manusia.

Dalam masalah haid ini, Sering saya bawakan hadits sayyidah Aisyah tatkala ia berhaji bersama Nabi mereka singgah di suatu tempat yang dinamakan Sarif, di dekat Makkah, beliau mendapati Aisyah sedang menangis karena kedatangan haid, lalu beliau bersabda kepadanya:
Lakukanlah seperti apa yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thawaf, dan shalat

Beliau tidak melarangnya untuk membaca Al-Qur'an dan memasuki Masjidil Haram.

Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Media Hidayah

Bolehkah wanita yang sedang haid masuk masjid?

Syaikh Al-Bany ditanya:
Bolehkah wanita yang sedang haid masuk masjid?

Syaikh Al-Bany ditanya:
Bolehkah wanita yang sedang haid masuk masjid?

Jawaban:
Boleh, dengan dua alasan (dalil).

Alasan yang pertama:
Tidak adanya larangan bagi wanita yang sedang haid untuk masuk ke dalam masjid. Karena itu kita menerapkan kaidah ushul fikih yang berbunyi:

Segala sesuatu (dalam muamalah) hukumnya boleh dikerjakan selama tidak ada dalil yang melarangnya.

Dan tidak ada satu pun hadits yang shahih tentang pelarangan wanita yang sedang haid ke masjid.

Alasan yang kedua
Sebuah hadits tentang Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya. Hadits dari sahabat jabir bin Abdullah AI Anshari ra. Beliau berkata,

Ketika sedang melaksanakan hajatul wada, Aisyah as kedatangan siklus haidnya dan Rasulullah ketika itu sedang berada di sebuah daerah dekat kota Makkah yang bernama Sarf. Setelah dari Sarf beliau mendatangi Aisyah yang sedang menangis. Rasulullah bertanya kepadanya,

Apa yang membuat engkau menangis? Apakah kamu sedang haid?

Rasulullah berkata, Haid itu adalah ketentuan Allah yang harus teriadi kepada para wanita, kerjakanlah seperti yang dikerjakan oleh jamaah haji yang lain, tetapi jangan kamu thawaf dan shalat


Hadits di atas adalah dalil yang membolehkan wanita yang sedang haid untuk masuk ke masjid, sekalipun Masjidil Haram. Dan Nabi membolehkan Aisyah mengerjakan apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang menunaikan ibadah haji. Orang-orang yang menunaikan ibadah haji pasti masuk ke dalam masjid, thawaf, mengerjakan shalat dan banyak lagi ibadah-ibadah yang lain. Aisyah boleh mengerjakan semuanya kecuali thawaf dan mengerjakan shalat.

Dia bisa masuk masjid dan membaca Al-Qur'an di dalamnya. Kesimpulannya masuk ke dalam masjid bukanlah amalan yang dilarang bagi wanita yang sedang haid. Dan bagi yang mengharamkannya haruslah dengan dalil yang shahih. Dan tentu saja dalilnya itu harus datang setelah hadits jabir di atas. Sehingga bisa dikatakan menghapus (naskh) hadits jabir.

Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Media Hidayah

Memakai jam tangan sunnahnya di tangan kanan

Syaikh Al-Bany ditanya:
Kami melihat sebagian orang memakai jam tangan di tangan kanan, dan mereka berkata bahwa yang demikian itu sunnah, apa dalilnya?

Syaikh Al-Bany ditanya:
Kami melihat sebagian orang memakai jam tangan di tangan kanan, dan mereka berkata bahwa yang demikian itu sunnah, apa dalilnya?

Jawaban:
Kami berpegang teguh dalam masalah ini dengan kaidah umum yang terdapat dalam hadits Aisyah di dalam Ash Shahih, ia berkata:

Rasulullah menyukai menggunakan (mendahulukan) kanan dalam segala sesuatu, yaitu ketika bersisir, bersuci, dan dalam setiap urusan.


Dan kami tambahkan dalam hal ini, hadits lain yang diriwayatkan dalam Ash Shahih, bahwa beliau bersabda:

Sesungguhnya Yahudi tidak mencelup (menyemir) rambut-rambut mereka, karena itu berbedalah dengan mereka, dengan cara menyemir rambut kalian.

Juga hadits-hadits yang lain yang di dalamnya terdapat perintah untuk berbeda dengan musyrikin.

Maka dari hadits-hadits tersebut dapat kami simpulkan bahwa disunnahkan bagi seorang muslim untuk bersemangat dalam membedakan diri dengan orang-orang kafir.

Dan sepatutnyalah untuk kita ingat bahwa membedakan diri dari orang kafir, mengandung arti bahwa kita dilarang mengikuti adat kebiasaan mereka. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menyerupai orang kafir, dan sudah selayaknya bagi kita wntuk selalu tampil beda dengan orang-orang kafir.

Di antara adat kebiasaan orang kafir adalah memakai jam tangan di tangan kiri, padahal kita mendapatkan pintu yang teramat luas di dalam syariat untuk menyelisihi adat ini. Walhasil mengenakan jam tangan di tangan kanan merupakan pelaksanaan kaidah umum, yaitu (mendahulukan) yang kanan, dan juga kaidah umum yang lain yaitu membedakan diri dengan orang-orang kafir.

Diambil dari Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albany, Penerbit: Media Hidayah

Shalat istikharah untuk menentukan pilihan

Shalat istikharah dilaksanakan ketika dihadapkan pada suatu permasalah agar pilihan kita mantap dan hati kita merasa tenang dengan apa yang kita pilih. Shalat istikharah dapat ketika akan menentukan pilihan pasangan hidup atau perkara-perkara yang lain

Saudara dan saudariku yang budiman, pernikahan adalah ikatan yang mempertalikan antara kedua pasangan suami-isteri. Memperhatikan supaya memilih isteri atau suami yang tepat adalah fase terpenting dalam permulaan pernikahan, dan dalam hal ini diperlukan kesungguhan yang mendalam untuk mendapatkan suami atau isteri yang tepat dari segala aspeknya. Siapa yang ingin ni'kah, hendaklah dia memilih pendamping hidupnya dengan
pilihan yang berlandaskan pengetahuan dan pemikiran yang kukuh serta sangat bersungguh-sungguh untuk beristikharah kepada Allah, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah kepada kita. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Jabir ra, ia menuturkan: Rasulullah mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan surat al-Qur-an:

إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعِيشَتِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعِيشَتِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي بِهِ قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ

`Jika salah seorang dari kalian menghendaki suatu perkara, maka shalatlah dua rakaat dari selain shalat fardhu, kemudian hendaklah mengucapkan: 'Ya Allah, aku beristikharah kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku meminta penilaian-Mu dengan kemampuan-Mu dan aku meminta kepada-Mu dari karunia-Mu yang sangat besar. Sesungguhnya Engkau kuasa sedangkan aku tidak kuasa, Engkau mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui perkara ini lebih baik bagiku dalam urusan agamaku, kehidupanku, dan kesudahan urusanku -atau urusan dunia dan akhiratku-, maka putuskanlah dan mudahkanlah urusan ini untukku, kemudian berkahilah untukku di dalamnya. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa itu buruk bagiku, baik dalam urusan agamaku, kehidupanku maupun kesudahan urusanku -atau urusan dunia dan akhiratku- maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya serta putuskanlah yang terbaik untukku di mana pun berada, kemudian ridhailah aku dengannya.' Dan hendaklah is menyebutkan hajatnya.'' (HR. Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasai dan lainnya)

Di sini ada beberapa perkara penting yang wajib kita perhatikan:
  1. Istikharah dilakukan setelah menunaikan shalat dua rakaat selain shalat shalat fardhu (Tahiyyatul Masjid, atau setelah shalat sunnah lainnya).

  2. Do'a istikharah dilakukan setelah shalat, bukan di dalam shalat.

  3. Boleh mengulang-ulang istikharah, karena ini adalah do'a, dan mengulang-ulang do'a adalah dianjurkan.

  4. Sebagian orang menyangka bahwa setelah melakukan shalat Istikharah, seseorang akan melihat sesuatu dalam mimpinya. Hal ini tidak berdasar. Pada prinsipnya, jika seseorang telah melakukan shalat Istikharah, hatinya menjadi tenang dengan pilihannya, maka tujuan istikharah telah terpenuhi. Bukan seperti yang diduga sebagian orang bahwa jika seseorang tidak bermimpi, maka dia harus mengulangi istikharahnya lagi hingga ia bermimpi.

  5. Shalat Istikharah hukumnya dianjurkan, bukan wajib.

  6. Ibnu `Umar radhiallahu’anhuma berkata: Seseorang benar-benar beristikharah kepada Allah Ta'ala, lalu Dia menjadikan baik pilihannya itu, kemudian dia kesal kepada Rabb-nya, Namun tidak berapa lama kemudian dia melihat bahwa kesudahan yang baik telah dipilihkan untuknya (oleh Allah).'


Referensi:
Panduan Lengkap Nikah dari A sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin 'Abdir Razzaq. Pustaka Ibnu Katsier

Mengapa Engkau Melalaikannya dalam Shalat ?

Sebagian muslimin meremehkan pakaian ketika melaksanakan shalat, apakah dengan bahan yang diharamkan seperti sutra bagi laki-laki, adanya gambar makhluk bernyawa atau hal lainnya. Berikut pembahasan ringkas mengenai hal tersebut dan hal-hal lain yang berkaian dengannya

Beberapa Perkara yang Perlu Diperhatikan Saat Hendak Shalat

Shalat dengan pakaian yang diharamkan
Sebuah pakaian bisa diharamkan bagi seseorang, mungkin dari sisi diperolehnya pakaian tersebut dengan cara yang haram, atau zat pakaian itu sendiri yang haram atau sifatnya yang haram.
  • Diperoleh dengan cara yang haram, mungkin dengan mencuri ataupun merampasnya dari orang lain atau yang semisalnya.

  • Zat pakaian itu haram, seperti pakaian sutera dan emas yang diharamkan bagi laki-laki untuk memakainya atau pakaian yang bergambar makhluk hidup (manusia dan hewan).

  • Sifat pakaian itu haram, seperti seorang laki-laki memakai pakaian wanita atau sebaliknya.
Shalat mengenakan pakaian yang diharamkan tersebut hukumnya haram. Lantas, apakah shalat yang dikerjakan sah ataukah batal ? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi. Namun pendapat mayoritas ahlul ilmi adalah shalatnya sah, tidak batal. Pelakunya dianggap telah berbuat maksiat karena melakukan perkara yang diharamkan, yakni memakai pakaian yang diharamkan. Ketika syariat melarang mengenakan sebuah pakaian secara mutlak pada saat menunaikan shalat ataupun di luar shalat, maka ini tidaklah mengandung konsekuensi batalnya shalat yang dikerjakan dengan memakai pakaian tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/ 448).

Shalat dengan memakai pakaian bercorak/ bergambar
Ummul mukminin Aisyah mengabarkan:

“Nabi shalat mengenakan khamishah yang memiliki corak/gambar-gambar. Beliau memandang sekali ke arah gambar-gambarnya. Maka selesai dari shalatnya, beliau bersabda, “Bawalah khamishahku ini kepada Abu Jahm dan datangkan untukku anbijaniyyahnya Abu Jahm , karena khamisah ini hampir menyibukkanku dari shalatku tadi .” Hisyam bin Urwah berkata dari bapaknya dari Aisyah, “Nabi bersabda, “Ketika sedang shalat tadi aku sempat melihat ke gambarnya, maka aku khawatir gambar ini akan melalikan/menggodaku .” (HR. Al-Bukhari no. 373 dan Muslim no. 1239)

Al-Imam An-Nawawi dalam syarah(penjelasan)nya terhadap Shahih Muslim memberi judul bagi hadits di atas dengan “Karahiyatush Shalah fi Tsaubin Lahu A’lam” artinya makruhnya shalat dengan mengenakan pakaian bergambar.

Rasulullah mengatakan bahwa gambar-gambar yang ada pada khamishah tersebut sempat menyibukkan beliau. Maksudnya, hati beliau tersibukkan sesaat dari perhatian secara sempurna terhadap shalat yang sedang dikerjakan, dari mentadaburi dzikir-dzikir dan bacaannya karena memandang gambar yang ada pada khamishah yang sedang dikenakannya. Karena khawatir hati beliau akan tersibukkan dengannya, belaiau pun enggan mengenakan khamishah itu dan memerintahkan agar mengembalikannya kepada Abu Jahm. Dari sini kita pahami, tidak disenanginya mengenakan pakaian yang bercorak/bergambar ketika shalat karena dikhawatirkan akan mengganggu ibadah shalat tersebut, walaupun shalat yang dikerjakan tetap sah. Diambil istimbath hukum dari hadits ini bahwa dimakruhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat seperti hiasan, warna-warni, dan ukiran pada dinding masjid, atau hal-hal lain yang dapat menyibukkan serta memalingkan hati orang yang sedang shalat. (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz Dzikr ‘Aqibash Shalah, Al-Minhaj 5/46, Fathul Bari 1/627, Syarhu Az-Zarqani ‘ala Muwaththa’ Al-Imam Malik, 1/290)

Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, “Hadits ini menunjukkan bersegeranya Rasulullah untuk memperbaiki shalat (melakukan hal-hal yang memberi kemashalahatan bagi ibadah shalat) serta menyingkirkan apa yang mungkin menodai pelaksanaannya. Di mana beliau melepas khamishah yang dikenakannya, menyuruh sahabatnya untuk mengembalikannya dan meminta penggantinya berupa pakaian lain yang tidak menyibukkan.” (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz-Dzikr ‘Aqibash Shalah)

Zainuddin Abul Fadhl Al-Iraqi menyatakan, “Hadits ini menunjukkan keharusan meyingkirkan apa saja yang dapat menyibukkan orang yang shalat dari ibadah shalatnya dan melalaikannya. Hadits ini juga mengandung hasungan untuk menghadap sepenuhnya pada amalan shalat dan khusyuk di dalamnya. Sebagaimana pula hadits ini menunjukan bahwa pikiran sedikit/sejenak tersibukkan dengan perkara selain shalat tidaklah mencacati keabsahan shalat.” (Tharhu At-Tatsrib, 2/585)

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa tidak disenangi untuk shalat di tempat yang padanya ada hal-hal yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat. Sehingga, sekiranya hal yang mengganggu itu dapat disingkirkan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut ini.

Anas bin Malik berkata, Aisyah memiliki qiram yang dipakainya untuk menutupi sisi rumahnya, maka Nabi bersabda:

“Singkirkan dari kami qirammu ini karena gambar-gambarnya terus menerus terbayang-bayang dalam shalatku.” (HR.Al-Bukhari no. 374)

Shalat Membawa Gambar
Bila seseorang shalat sementara di sakunya ada dompet yang di dalamnya terdapat uang kertas bergambar makhluk hidup, KTP, SIM yang tentunya ada pas fotonya, apakah shalatnya sah ?

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab, “Shalatnya sah. Adapun gambar-gambar yang dibawanya dalam shalat tidaklah mencacati shalatnya karena ia dalam keadaan terpaksa atau ada kebutuhan untuk selalu membawanya. Adapun gambar/ foto kenang-kenangan, untuk mengingat seseorang dan semisalnya, tidak boleh dibawa. Bahkan tidak boleh dibiarkan tetap ada di dalam rumah, namun wajib dimusnahkan. Dengan dalil sabda Nabi kepada Ali bin Abi Thalib:

“Jangan engkau membiarkan satu gambar (makhluk hidup) kecuali engkau haus dan jangan pula membiarkan ada satu kuburan yang ditinggalkan kecuali engkau ratakan.” (HR. Al-Imam Muslim dalam Shahihnya)

Kemudian Asy-Syaikh menyebutkan beerapa hadits yang lainnya. (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/417)

Shalat di Tempat yang Ada Gambar
Shalat di tempat yang di situ ada gambar-gambar bernyawa seprti gmbar-gambar pada surat kabar, majalah, dan buku-buku, atau gambar yang digantung di dinding hukumnya sah apabila si muslim yang shalat tersebut menunaikan shalatnya dengan tata cara yang diajarkan dalam syariat. Akan tetapi bila ia mencari tempat lain yang tidak ada gambarnya maka itu lebih utama dan lebih afdhal. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/418)

Shalat Beralaskan Tikar
Dibolehkan shalat dengan memakai alas, baik berupa tikar, sajadah, kain, atau yang lainnaya selama alas tersebut tidak akan mengganggu orang yang shalat. Misalnya sajadahnya bergambar dan berwarna-warni, yang tentunya dapat menarik perhatian orang yang shalat. Di saat shalat, mungkin ia akan menoleh ke gambar-gambarnya lalu mengamatinya, terus memperhatikannya hingga ia lupa dari shalatnya, apa yang sedang dibacanya dan berapa rakaat ang telah dikerjakannya. Oleh karena itu tidak sepantasnya memakai sajadah yang padanya ada gambar masjid, karena bia jadi akan mengganggu orang yang shalat dan membuatnya menoleh ke gambar tersebut sehingga bisa mencacati shalatnya. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/ 362)

Dalil tentang bolehnya shalat dengan memakai alas adalah sebagai berikut:

Anas bin malik mengabrkan bahwa neneknya yang bernama Mulaikah mengundang Rasulullah untuk menyantap hidangan yang dibuatnya. Beliau pun datang memenuhinya serta memakan hidangan yang disajikan. Selesainya, beliau bersabda , “Bangkitlah, aku akan shalat mengimami kalian.” Anas berkata,”Aku pun bangkit untuk mengambil tikar kami yang telah menghitam karena lamanya dipakai. Aku percikkan air untuk membersihkannya. Rasulullah lalu berdiri. Aku dan seorang anak yatim membuat shaf di belakang beliau, sementara nenekku berdiri di belakang kami. Rasulullah shalat dua rakaat mengimami kami, kemudian beliau pergi.” (HR. Al-Bukhari no. 380 dan Muslim no. 1497)

Abu Sa’id Al-Khudri menyatakan:

“Ia pernah masuk menemui Rasulullah, ternyata ia dapatkan beliau sedang shalat di atas tikar, beliau sujud di atas tikar tersebut.” (HR. Muslim no. 1503)

Aisyah berkata:

“Adalah Rasulullah shalat beraaskan khumrah .” (HR. Al-Bukhari no. 379 dan diriwayatkan pula oleh Muslim no. 1502 dari hadits Maimunah)

Ibnu Baththal berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha di berbagai negeri tentang bolehnya shalat di atas/beralas khumrah. Keculai perbuatan yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz bahwa ia pernah meminta tanah lalu diletakkannya di atas khumrahnya untuk kemudian sujud di atas tanah tersebut. Mungkin apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin Abdil ‘Aziz ini karena berlebih-lebihannya beliau dalam sikap tawadhu’ dan khusyuk. Dengan begitu, dalam perbuatan beliau ini tidak ada penyelisihan dengan pendapat jamaah (yang menyatakan bolehnya sujud di atas khumrah).

Ibnu Abi Syaibah meriwaytkan dari ‘Urwah ibnuz Zubair bahwa ia membenci (memakruhkan) shalat di atas sesuatu selain bumi /tanah (membenci shalat dengan memakai alas). Demikian pula riwayat dari selain ‘Urwah. Namun dimungkinkan makruhnya di sini adalah karahah tanzih (bukan haram).” (Fathul Bari, 1/633)

Namun perbuatan Rasulullah ini cukuplah menujukkan kebolehan shalat di atas alas. Wallahu a’lam.

Al-Imam An-Nawawi menyatakan ,”Orang-orang dalam mazhab kami berkata, ‘Tidak dibenci shalat di atas wol, bulu, hamparan, permadani, dan benda-benda seluruhnya. Inilah pendapat dalam mazhab kami’.” (Al-Majmu’, 3/169)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata, “Tidak apa-apa shalat di atas hamparan/tikar dan permadani dari wol, kulit, dan bulu. Sebagaimana dibolehkan shalat di ats kain dari katun, linen, dan seluruh bahan yang suci.” (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Tashihhu Ash-Shalah ‘alal Hashir wal Bisath minash Shuf)

Shalat dengan Pakaian yang Dikenankan Saat Buang Hajat/di WC
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hal ini, karena memungkinkan ketika keluar dari WC pakaian mereka terkena najis dan tidak diragukan WC tidak lepas dari najis. Bila demikian, apakah sah shalat mereka dengan mengenakan pakaian tersebut ? beliau menjawab, “Sebelum aku menjawab pertanyaan ini, aku hendak mengatakan bahwa syariat Islam ini, alhamdulillah, telah sempurna dari seluruh sisi. Cocok dengan fitrah manusia yang Allah ciptakan makhluk di atas fitrah tersebut. Di mana pula, agama ini datang dengan kemudahan dan keringanan, bahkan datang untuk menjauhkan manusia dari kebingungan dalam was-was dan bayangan-bayangan yang tidak ada asalny. Berdasarkan hal ini, seseorang dengan pakaian yang dikenakannya berada di atas kesucian, karena hukum asalnya demikian, selama ia tidak yakin tubuh dan pakaiannya terkena najis. Inilah hukum asal yang dipersaksikan oleh sabda Rasulullah tatkala ada seseorang mengadu kepada beliau bahwa ia merasa berhadats ketika sedang mengerjakan shalatnya. Beliau bersabda:

“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendegar suara (angin) atau ia mendapati baunya.”

Maka hukum asalnya adalah tetapnya sesuatu di atas keadaanya semula (dalam hal ini: suci). Dengan begitu, basahnya pakaian yang dikenankan mereka saat masuk WC, bisakah dipastikan bahwa cairan tersebut adalah cairan yan najis dari air kencing, tahi, atau semisalnya ? Bila kita tidak bisa memastikan (tidak yakin) dengan perkara ini, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu suci. Memang benar, menurut persangkan yang kuat pakaian itu bisa jadi terkena sedikit najis. Akan tetapi selama kita tidak yakin (sekedar menduga-duga) maka tetap hukum asal sesuatu itu suci, sehingga tidak wajib bagi mereka membasuh pakaian mereka. Dan mereka boleh shalat mengenakan pakaian tersebut.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/369)

Shalat Memakai Sandal
Rasulullah terkadang shalat tanpa alas kaki dan terkadang memakai sandal. Beliau membolehkan hal itu kepada umat beliau dengan sabdanya:

“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan di antara kedua kakinya, dan jangan ia mengganggu orang ain dengan kedua sandalnya.” (HR. Al-Hakim 1/259, ia berkata, “Shahih di atas syarat Muslim.” Disepakati oleh Adz Dzahabi. Kata Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi 1/108, “Hadits ini memang sebagaimana yang dikatakan leh keduanya.”)

Didapatkan pula adanya penekanan beliauagar mengenakan sandal ketika shalat sebagaimana dalam hadits:

“Selisihilah Yahudi, karena mereka tidak shalat dengan mengenakan sandal dan tidak pula khuf mereka.” (HR. Abu Dawud no.652, dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa Fish Shahihain, hadits no. 471, 1/399)

Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini memberi faedah disenanginya shalat dengan memakai sandal karena Rasulullah memerintahkannay dengan alasan untuk menyelisihi Yahudi. Minimal hukumnya adalah mustahab, walaupun secara dzahir hukumnya wajib. Karena hukum asal dari perintah adalah wajib, kecuali ada nash yang memalingkannya dari hukum wajib tersebut. Namun di sini tidaklah wajib hukumnya dengan dalil sabda beliau yang telah disebutkan sebelumnya:

“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan keduanya…”

Dari ucapan beliau ini menunjukkan seseorang yang shalat diberi pilihan (antara memakai sandal atau melepaskannya) akan tetapi hal ini tidaklah meniadakan hukum mustahabnya…” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi, 1/109, 110)

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata, ”Mustahabnya dari sisi tujuan menyelisihi Yahudi.”

Sunnah ini tentunya akan dianggap asing oleh masyarakat kita karena ketidaktahuan mereka terhadap hukum-hukum yang rinci dalam agama ini. Juga karena pandangan mereka, apabila seseorang masuk masjid dalam keadaan memakai sandal berarti dia menghinakan masjid dan mengotorinya. Sehingga siapa saja yang hendak mengamalkan sunnah harus pandai-pandai melihat keadaan dan super hati-hati. Jangan sampai krena ingin menghidupkan sunnah namun hasilya malahan mendatangkan mudarat dan membuat fitnah di tengah masyarakatnya yang awam tersebut, yang menyebabkan sunnah ini justru dibenci dn agama ini semakin dijauhi. Wallahul musta’an.

Oleh karena itu, ajarilah dulu manusia agama yang mudah ini dengan penuh hikmah, sehingga mereka mengerti dan paham, dan pada akhirnya mereka cinta terhadap agama ini dan mengamalkan semua yang datang dari agama yang mulia ini, tanpa ada paksaan dari siapa pun. Wallahul muwaffiq ila ash-shawab.

Syarat suatu amalan dikatakan mencocoki Sunnah

Suatu amalan akan diterima jika ikhlas dan sesuai Sunnah. Berikut rincian suatu ibadah dikatakan sesuai sunnah.

Ketahuilah bahwa mutaba'ah tidak akan terwujud apabila amalan tersebut tidak sesuai dengan syari'at dalam enam hal:
1. Sebabnya
2. Jenisnya
3. Ukurannya
4. Teknisnya
5. Waktunya
6. Tempatnya

Apabila tidak sesuai dengan syari'at dalam enam hal ini, maka amalan tersebut dikatakan bathil dan tertolak, sebab ia melakukan suatu hal dalam agama Allah yang tidak ada sandaran darinya.

1. Sebabnya
Amalan harus sesuai dengan syari'at dalam sebabnya. Hal itu seperti seseorang melakukan ibadah dengan yang tidak pernah Allah sebutkan, misalkan; dia shalat dua raka'at setiap kali memasuki rumahnya dan menjadikan hal ini sebagai perbuatan Sunnah. Seperti ini tertolak. Walaupun perkara shalat pada dasarnya disyari'atkan, tetapi ketika ia kaitkan dengan sebab yang tidak bersumber dari syar'at, maka hal ini mengakibatkan ibadah tersebut tertolak. Contoh yang lain: apabila seseorang membuat perayaan dengan sebab kemenangan kaum Muslimin pada Badar, maka hal ini pun tertolak, sebab ia mengaitkannya sebab yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

2. Jenisnya
Bila seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah tidak pernah disyari'atkan agama dalam hal jenisnya, maka tidak akan diterima. Sebagai contoh: bila seseorang berkurban dengan kuda, maka hal ini tertolak, sebab menyelisihi perintah syariat dalam hal jenis, dimana syar'at Islam memerintahkan harus dari jenis binatang ternak tertentu, yaitu: unta, sapi dan kambing. Adapun seseorang yang memotong kuda dengan niat mensadaqahkan dagingnya maka hal itu diperbolehkan, sebab ia tidak dikatakan berkurban kepada Allah dengan menyembelihnya, hanya menyembelihnya untuk dishadaqahkan dagingnya.

3. Ukurannya
Apabila seseorang beribadah kepada Allah dengan ukuran yang lebih dari ukuran yang telah ditentukan syari'at maka hal itu tidak diterima. Sebagai contoh: bila seseorang berwudhu' dengan membasuh setiap bagian sebanyak empat kali, maka yang keempat tertolak, sebab hal itu melebihi ketentuan syari'at. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah shalallahu‘alaihi wa sallam berwudhu' tiga kali-tiga kali, lalu beliau bersabda:
مَنْ زَادَ عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ
“Barangsiapa yang melebihkannya, maka ia telah berbuat jelek, melampaui batas dan berbuat kezhaliman (HR. Ahmad, An-Nasaai, Ibnu Majah dengan sanad yang hasan)


4. Sesuai teknisnya
Apabila seseorang mengamalkan sesuatu dalam rangka beribadah kepada-Nya tetapi menyelisihi syari'at dalam hal teknisnya, maka tidak akan diterima, dan hal itu tertolak. Contoh: seseorang shalat, ia langsung bersujud sebelum melakukan ruku', maka shalatnya tidak sah dan tertolak, sebab tidak sesuai dengan teknis tuntunan syari'at. Demikian pula dalam hal wudhu' dengan cara berbalik seperti memulai dengan membasuh kaki sebelum mengusap kepala setelah itu membasuh tangan lalu muka, apabila berwudhu' dengan teknis seperti ini maka tidak sah, sebab tidak mengikuti perintah syari'at dalam hal teknis atau tata-caranya.

5. Sesuai dengan syari'at dalam hal waktunya.
Bila seseorang shalat sebelum masuk waktunya, maka shalatnya tidak mungkin diterima sebab ia menyelisihi waktu yang telah ditentukan syari'at. Juga bila menyembelih kurban sebelum mengadakan shalat `Id, inipun tertolak, sebab menyelisihi waktu yang telah ditentukan syari'at. Apabila seseorang beri'tikaf pada selain waktunya, maka hal itu tidak sesuai dengan pedomannya, namun hal ini diperbolehkan sebab Rasulullah ', membolehkan `Umar bin al-Khaththab beri'tikaf di Masjidil Haram ketika beliau bernadzar. Apabila seseorang mengakhirkan suatu ibadah yang telah ditentukan waktunya oleh syari'at tanpa adanya alasan yang dibenarkan, seperti shalat Shubuh setelah terbit matahari tanpa udzur, maka (dengan sikap seperti ini) shalatnya tertolak, sebab ia telah beramal dengan amalan yang tidak bersumber dari Allah dan Rasul-Nya.

6. Sesuai dalam ketentuan
Apabila seseorang beri'tikaf di sekolah atau di rumah, bukan di mesjid, maka amalannya ini tidak sah, sebab tidak sesuai dengan tuntunan syari'at dalam ketentuan tempatnya, di mana ibadah I'tikaf harus dilakukan di masjid.

Maka perhatikanlah keenam hal di atas dan wujudkanlah dalam setiap yang diwajibkan kepadamu. Berikut ini beberapa permisalan di antara perkara yang tertolak sebab menyelisihi ketentuan Allah dan Rasul-Nya:

Contoh 1.
Orang yang berjual beli setelah adzan kedua pada hari Jum'at dan ia termasuk golongan yang diwajibkan menghadiri shalat jum'at, maka akad transaksinya tidak sah, sebab ia menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan apabila hal ini terjadi maka wajib dibatalkan, masing-masing mengembalikan uang dan barangnya. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat bahwa ketika Rasulullah saw dikabarkan bahwa kurma yang baik sebanyak satu sha' ditukar dengan dua sha' (yang jelek), dua sha' dengan tiga sha'. Seketika Rasulullah bersabda: Kembalikan! Artinya kembalikan barang dagangannya, sebab telah menyelisihi ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Contoh 2.
Seseorang wanita menikahkan dirinya tanpa adanya wali, maka pernikahannya pun tidak sah, sebab Rasulullah saw bersabda: Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali

Contoh 3.
Seseorang yang mentalak isterinya dalam keadaan haid, apakah talaknya dianggap atau tidak? Jawab: dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Tatkala seseorang mengatakan kepada Imam Ahmad rahimahullah, pendapat bahwa talak ketika
sang isteri sedang haid dibolehkan (terjadi), seketika beliau berkata Itu pendapat jelek. Inilah perkataan Imam Ahmad rahimahullah yang ilmunya sangat piawai dalam hadits dan fiqih, beliau mengingkari perkataan tersebut. Demikian pula sebagian ulama ada yang mengingkari pendapat bahwa talak di saat haidh tidak terjadi, mereka berpendapat sebaliknya, yakni bahwa hal itu terjadi dan dianggap talak satu. Namun ada juga yang berpendapat bahwa hal itu tidak terjadi, srperti pendapatnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, walhasil ini termasuk masalah khilafiyyah (diperselisihkan).
Saya menyebutkannya di sini dengan maksud jangan sampai orang-orang gampang menfatwakan tidak menganggap terjadinya talak diwaktu haid, bahkan kalian harus memberlakukan hukum tersebut kepada mereka sebagaimana mereka sengaja melakukannya. Meskipun talak dengan lafazh tiga kali dengan satu ucapan, pada masa Rasulullah saw, Abu Bakar, dan dua tahun masa pemerintahan `Umar dihitung satu kali. Namun ketika manusia berani (menyepelekan) perkara yang haram, maka `Umar radhiallahu’anhu.menghukumi mereka dengan menjatuhkannya (menganggapnya tiga kali), seraya beliau berkata: Engkau tidak boleh kembali kepada isterimu, sebab kamu sendiri yang menyengaja menceraikannya tiga kali. Saya pun setuju dengan pendapat ini (dianggap terjadi), sebab kebanyakan manusia sekarang suka mempermainkannya, di saat orang awam datang dan mengatakan bahwa dirinya telah menceraikan isterinya dalam keadaan haidh sejak sepuluh tahun yang lalu, dan Anda katakan padanya; Hal itu dianggap terjadi, lantas ia berkata padamu: Itu hanya talak di waktu haid dan dianggap talak bid'ah. Orang ini mengatakan demikian padahal dirinya awam. la tidak tahu mana pergelangan tangan di antara kumpulan manusia (ungkapan yang menunjukkan kebodohannya), dan ia mengatakan demikian sebab hawa nafsunya.
Apakah mungkin kita fatwakan bahwa talak Anda tidak terjadi?! Jawab: Tidak mungkin kita lakukan demikian, sebab di pundak kita pertanggungjawaban yang sangat agung di hari Kiamat kelak. Bahkan kita katakan padanya: Anda telah mewajibkan diri Anda, maka hal itu harus Anda ikuti. Bagaimana menurutmu apabila isterimu telah habis masa `iddahnya dari penceraian itu dan ia menikah dengan laki-laki lain, apakah kamu akan mendatangi suami barunya dan berkata: `Perempuan ini isteri saya?!!' Tentu Anda tidak akan berkata seperti ini. Maka apabila dia berpendapat bahwa talak tiga itu berlaku (seperti pendapat kami), maka tentunya ia tidak akan membuka pintu (thalak) ini (untuk dipermainkan).
Walhasil, talak dalam keadaan haidh mayoritas ulama menyatakannya berlaku. Dan pendapat yang mengatakan sebaliknya, Imam Ahmad mengomentarinya dengan perkataan beliau: Ini pendapat yang buruk, artinya tidak pantas untuk dijadikan pedoman.

Contoh 4.
Seseorang menjual satu uqiyah (ukuran) emas dengan satu setengah uqiyah, maka yang seperti ini dikatakan jual beli yang bathil (tidak sah), sebab Rasulullah saw bersabda:
Jangan kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan ukuran dan berat yang sama
(HR. Bukhari, Muslim)

Contoh 5.
Seseorang shalat dengan mengenakan baju curian. Mayoritas ulama mengatakan: shalatnya sah, sebab larangan di sini tidak berkaitan dengan shalat tetapi larangannya hanya tentang mencuri baju. Apakah baju itu dipakai untuk shalat atau tidak, maka tidak berkaitan dengan shalat. Nabi saw sendiri tidak mengatakan: Janganlah kalian shalat dengan mengenakan baju curian. Beliau hanya melarang mencuri dan mengharamkannya dan tidak mengaitkannya dengan masalah shalat.

Contoh 6
Seseorang shalat sunnah tanpa adanya alasan pada saat waktu larangan shalat, maka amalannya ini tertolak sebab hal itu terlarang baginya.

Contoh 7.
Seseorang puasa pada hari raya `Idul Fithri, maka puasanya tertolak sebab ia melakukannya pada waktu larangan baginya.

Contoh 8.
Seseorang berwudhu' dengan air curian, maka hal itu tetap sah, sebab larangan di sini berkenaan dengan mencuri air. tidak berkenaan langsung dengan wudhu' dengan air tersebut. Apabila larangan dimaksud berkenaan dengan wujud ibadah itu sendiri, maka ibadah ini tidak sah. Tetapi bila larangan ini bersifat umum, maka hal itu tidak berkait dengan sah atau tidaknya suatu ibadah.

Contoh 9
Seseorang mencurangi temannya dengan cara menipunya dalam hal jual beli, maka hasil jual belinya tetap dikatakan sah, sebab larangan di sini hanya berkisar tentang tipu-menipu. Apabila orang yang tertipu ini menerima hasil jual belinya, maka hal itu tetap dikatakan sah. Rasulullah saw bersabda:

Janganlah kalian menghadang al jalab (sebelum sampai ke pasar). Apabila kalian menemui (jalab) dan membeli sesuatu darinya, kemudian majikannya (orang kampung yang membawa jalab itu) mendatangi pasar, maka harus dilakukan pilihan (tawar menawar) kembali. (HR. Muslim)

Al jalab adalah barang-barang yang dibawa oleh orang Arab perkampungan berupa hewan ternak, bahan makanan dan selainnya, [di mana mereka tidak mengetahui harga pasaran dari barangbarang dagangannya]. Dalam hal ini Rasulullah tidak mengatakan: Maka jual belinya bathil (tidak sah), bahkan telah sah, namun orang yang dihadangnya (orang kampung itu) berhak untuk mengadakan tawar-menawar harga lagi, karena ia menjadi pihak yang telah dirugikan.

Harus dibedakan antara larangan yang berkaitan dengan wujud suatu amalan dengan sesuatu yang tidak berkaitan dengannya. Apabila berkaitan dengan wujudnya, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tertolak (tidak benar), sebab jika Anda memaksanya menganggap benar, berarti Anda menentang Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika berkait dengan sesuatu di luar amalan, maka amalan tersebut tetap dikatakan shahih, dan dosa dalam amalan yang Anda amalkan (berupa menipu atau mencuri) adalah diharamkan (dengan dalil tersendiri).

Contoh 10.
Seseorang berhaji dengan harta curian, misalkan dengan mencuri unta kemudian berhaji dengan hasil penjualannya. Hajinya tetap shahih, dan inilah pendapat mayoritas ulama, akan tetapi dirinya berdosa dengan mencuri unta tersebut, atau dengan mencuri mobil misalkan. Sebab perbuatan mencuri ini ada di luar ibadah tersebut. Bukti (bahwa biaya haji itu di luar ibadah hajinya), ialah terkadang ada seseorang yang berhaji tanpa mengunakan biaya kendaraan. Sebagian ulama menghukuminya dengan tidak shahih, dan keputusan mereka ini dilantunkan dalam satu bait syair:

إذا حججتَ بمالٍ أصلُهُ سُحْتٌ
ضفما حججتَ ولكنْ حجَّتِ العيرُ

Jika kamu berhaji dengan harta yang asalnya dosa (haram)
Maka kamu tidak berhaji, akan tetapi untanyalah yang berhaji.

Dalam riwayat Muslim:Siapa yang melakukan suatu amalan (ibadah) yang-bukan urusan (agama) kami, maka hal itu tertolak. Dalam riwayat ini tersurat bahwa apabila dalam suatu amalan tidak berlandaskan pada perintah Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu secara pasti akan tertolak. Dalam masalah ibadah, tanpa diragukan lagi ketentuan ini berlaku, sebab perkara ibadah berpatokan pada prinsip yang baku (bahwa pada asalnya dilarang), hingga adanya dalil yang menjadikannya disyari'atkan.

Jika ada seseorang mengadakan satu bentuk peribadatan kepada Allah Ta'ala, lalu orang lain mengingkarinya, kemudian ia balik bertanya: Apa dalilmu kalau hal itu perbuatan haram? Sanggahan seperti ini jelas mungkarnya. Maka pengingkar harus berkata: Dalilnya adalah bahwa pada dasarnya ibadah itu hukumnya terlarang, hingga adanya dalil yang mensyari'atkannya. Adapun pada selain ibadah (mu'amalah), hukum asalnya adalah boleh (selama tidak ada dalil yang melarangnya), baik yang berkaitan dengan pelakunya maupun perbuatannya, karena pada dasarnya berhukum halal/boleh.

Contoh pelaku (perbuatan selain ibadah), misalnya: seseorang memburu burung untuk memakannya, lalu orang lain mengingkarinya. Kemudian ia menyanggah: Apa dalil keharamannya? Sanggahan dia benar, sebab asal hukum berburu burung adalah halal, berdasarkan firman Allah Ta'ala:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. (QS. Al-Baqarah: 29)

Contoh perbuatan pada selain ibadah yang hukum asalnya halal: si A mengerjakan sesuatu di rumahnya atau pada mobilnya, pakaiannya atau apa saja yang berkaitan dengan perkara dunia, kemudian si B mengingkarinya. Lalu si A menyanggah dan bertanya: Apa dalilmu mengharamkan perbuatan saya? Ucapanya A dibenarkan sebab asal perbuatannya dihalalkan.

Inilah 2 kaidah yang sangat penting dan bermanfaat (yaitu bahwa ibadah itu hukum asalnya dilarang, sampai ada dalil yang melegalkannya. Sebaliknya, muamalah itu pada asalnya diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya.

Atas dasar ini, dalam masalah ibadah kita harus memperhatikan tiga kesimpulan
1. Apa yang kita ketahui bahwa syariat membolehkan suatu ibadah, maka itu berarti disyariatkan
2. Apa yang kita ketahui bahwa syariat melarangnya, maka berarti hal itu terlarang
3. Apa yang tidak kita ketahui bahwa suatu hal tidak termasuk ibadah, maka hal itu terlarang

Adapun dalam masalah muamalah, kitapun harus memperhatikan 3 tiga kesimpulan
1. Apa yang kita ketahui bahwa syariat membolehkannya, maka hal itu berarti boleh, seperti amalan Rasulullah saw memakan keledai liar
2. Apa yang kita ketahui bahwa syariat melarangnya, maka hal itu berarti dilarang
3. Dan apa yang tidak kita ketahui ketentuan hukumnya, maka hal itu berarti dibolehkan, sebab hukum asal pada selain ibadah adalah boleh.

Syarh Arbain Nawawiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Kapan berdoa dengan mengangkat tangan?

Hukum berdoa pada asalnya dengan mengangkat tangan, akan tetapi disana ada beberapa pengecualian. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan dalam Syarh Arba’in Nawawiyah

Hukum berdoa pada asalnya dengan mengangkat tangan, akan tetapi disana ada beberapa pengecualian. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan dalam Syarh Arba’in Nawawiyah

Mengangkat tangan dalam berdoa dibagi kepada tiga keadaan.

1. Riwayat menyebutkan bahwa beliau mengangkat kedua tangannya.
2. Riwayat menyebutkan bahwa beliau tidak mengangkat kedua tangannya.
3. Riwayat tidak menyebutkan keduanya.

Contoh keadaan pertama:
Jika sang khatib berdo'a ketika shalat Istisqa' (meminta hujan) atau istish-ha, maka dalam keadaan ini ia dibolehkan mengangkat kedua tangannya, demikian juga para makmum. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, yaitu kisah seorang Arab dusun (A'rabi). Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam khutbah Jum'at, ia meminta kepada beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk dimintakan kepada Allah hujan, lalu beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdo'a, demikian pula para Sahabat ridwanullahu ajma’in, mengangkat tangan mereka seraya berdo'a bersamanya (HR. Bukhari, HR. Muslim)

Hadits lain menunjukkan dibolehkannya hal ini dalam Qunut Nazilah (karena terjadi perkara yang genting), atau ketika shalat sunnah Witir, juga ketika berada di Shafa dan Marwah, ketika di padang `Arafah, dan saat yang lainnya (berdasarkan riwayat dari beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam), dan perkara ini jelas adanya.

Contoh keadaan kedua:
Riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a, yaitu ketika khutbah jum'at selain khutbah Istisqa' dan Istish-ha. Jika seorang khatib jum'at berdo'a untuk kebaikan kaum muslimin dan muslimah atau kemenangan para mujahidin, maka ia tidak mengangkat ke dua tangannya. Jika ada khatib yang mengangkatnya ketika ia berdo'a, niscaya saya akan mengingkarinya, karena dalam Shahiih Muslim diriwayatkandari `Umarah bin Ru-aibah, bahwa ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya ketika di atas mimbar, lalu ia (`Umarah) berkata kepadanya:

قبح الله هاتين اليدين،لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ما يزيد أن يقول بيده هكذا.وأشار بإصبعه المسبحة

Semoga Allah memburukkan kedua tanganmu ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan tatkala sedang berdo'a selain seperti ini, sambil mengangkat jari telunjuknya (HR. Muslim)

Demikian pula ketika berdo'a dalam shalat, seperti di antara dua sujud, setelah tasyahhud akhir, dan selainnya. Hal ini pun perkaranya jelas.
Contoh keadaan ketiga:
Yakni riwayat yang tidak menyebutkan apakah mengangkat kedua tangan atau tidak. Hukum asal dalam masalah ini adalah dengan mengangkat kedua tangan, karena ia termasuk di antara adab dan sebab dikabulkannya do'a. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِيْ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهَ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرَاً

Sesungguhnya Allah Ta'ala memiliki sifat malu dan Maha pemberi karunia, Dia malu dari hamba-Nya tatkala sang hamba (berdo'a) mengangkat kedua tangannya (ke langit) jika keduanya dikembalikan dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan) (HR. Ahmad, Al-Hakim, At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam Shahihul Jami no,1757)

Akan tetapi didapati keadaan-keadaan di mana ditegaskan tidak mengangkat kedua tangan ketika berdo'a, seperti ketika duduk di antara dua khutbah (Jum'at). Dalam hal ini kita tidak mengetahui satu Sahabat pun yang mengangkat tangan di saat seperti ini. Banyak pendapat (pandangan) tentang mengangkat tangan di saat seperti ini. Orang yang mengangkatnya dengan dalil bahwa hukum asal berdo'a adalah dengan mengangkat kedua tangan, maka hal itu tidak diingkari. Dan orang yang tidak mengangkatnya dengan alasan para Sahabat tidak pernah melakukannya, maka hal ini pun tidak diingkari. Intinya, dalam perkara seperti ini terdapat keleluasaan, insya Allah.

Popular Posts