Oleh : Bustanuddin Agus, Dosen FISIP Universitas Andalas
PAI SMPN 21-Buntut Rekomendasi Bakor Pakem tanggal 16/4) bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) memang menyimpang alias menodai kebebasan beragama, konflik antara yang pro dan kontra Ahmadiyah yang ditandai bentrok di silang Monas Minggu (31/5), akhirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Jaksa Agung keluar juga Senin (9/6) lalu.
Namun demo, kontroversi dan polemik tetap saja berlangsung antara yang menuntut dan yang menentang pembubaran. Pasalnya SKB itu memang tidak tegas memerintahkan pembebasan. SKB memerintahkan pembekuan kegiatan mengembangkan ajaran yang bertentangan prinsip ajaran Islam. Soal shalat, khutbah, plank nama, kegiatan sosial dan lainnya tidak disebut dan jadi pemicu kontroversial tersebut.
Kontan saja JAI pasang kuda-kuda, misalnya akan gugat keabsahan SKB, menuntut pemerintah ke hadapan meja hijau sebagai yang melanggar hak asasi manusia. Dikota Padang sendiri, kesepakatan dengan Wali Kota, Kepala Kantor Departemen Agama (Kakandepag) dan Ketua MUI Kota Padang sebelum Jumat (13/6) dengan pimpinan Ahmadiyah Kota Padang bahwa ketiganya akan shalat Jumat di masjid Ahmadiyah dengan imam MUI dan Khatib Kakandepag mereka langgar sehingga ketiga pejabat/pimpinan itu ”terpaksa” mendengarkan khutbah yang mereka sampaikan yang tentu saja sejalan dengan ajaran Ahmadiyah itu sendiri.
Kebebasan Beragama
Alasan kekebasan beragama? Siapa yang sedikit saja belajar ajaran Islam tentang bagaimana perlakuan seharusnya terhadap penganut agama lain mengetahui bahwa penganut agama lain tidak boleh dipaksa menganut Islam. La ikraha fid din (QS 2:256) dan lakum dinukum waliya din. Nabi Muhammad SAW, sebagai kepala negara, memerintahkan kepada setiap panglima yang beliau kirim ke
Rumah ibadat agama lain pun tidak boleh dirusak. Umar bin Khattab yang sudah diizinkan oleh pengelola gereja untuk shalat di gereja mereka setelah Yerussalem dikuasai, tidak mau shalat di
Al-Quran tegas menyatakan bahwa dalam menyampaikan dakwah Islam, hendaklah dengan cara bijaksana, dengan pelajaran dan diskusi yang lebih baik (QS 16:125). Al-Quran melarang umat Islam mencaci tuhan agama lain (QS 6:108).
Rasulullah pernah bersabda: ”Siapa yang menyakiti mu’ahid (penganut agama lain yang sudah punya ikatan perjanjian damai dengan masyarakat Islam), mengurangi haknya, membebaninya di atas batas kesanggupannya, atau mengambil sesuatu dari padanya tanpa kerelaan hatinya, aku lah nanti yang akan menuntutnya (orang yang melakukan tindakan aniaya tersebut) di hari kiamat” (HR Abu Daud). Pada kesempatan lain Rasulullah juga berkata: ”Siapa yang menyakiti seorang dzimmi (penganut agama lain yang menjadi anggota masyarakat Islam) berarti menyakiti diriku sendiri”.
Sayyid Qutb menyimpulkan dalam bukunya Ma’alim fi al-Thariq bahwa perluasan daerah Islam (futuhat islamiyah) adalah untuk menjamin terwujudnya kekebasan beragama. Penyerangan dilakukan karena kelompok agama tertentu yang mengalami penindasan oleh penguasa yang menganut agama lain yang mereka anut minta bantuan kepada pemerintah Islam untuk menjaga hak kebebasan beragama mereka.
Di samping itu, jalan peperangan terpaksa ditempuh untuk mempertahankan diri dari ancaman serangan dari luar seperti perang Badar, Uhud dan lainnya. Maklum hukum internasional ketika itu adalah: kalau tidak menyerang diserang.
Tapi kebebasan beragama yang harus diawasi oleh pemerintah itu tidak berarti pemerintah harus membebaskan pihak manan pun mengotak-atik suatu agama, baik dari luar maupun dari dalam. Dari luar seperti menyerang masyarakat muslim untuk memaksanya keluar dari agama atau ajaran agama mereka. Masjid yang dibangun kaum munafik di zaman Rasulullah yang dinamakan masjid dhirar untuk memecah belah kaum muslimin disuruh bakar oleh Rasulullah (sebagai kepala negara tentunya, bukan dengan tindakan anarkis sekelompok muslim) setelah ayat al-Taubah 108 turun.
Kelompok yang menyatakan tidak mau membayar zakat lagi, dihukum tegas oleh Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq, dengan diperangi. Apalagi pelanggaran berupa tidak mau patuh lagi kepada Nabi sebagai kepala negara dan kepala agama, seperti tampilnya nabi palsu sesudah Nabi meninggal, seperti yang dikomandokan oleh Musailamah al-Kazzab, ditindak tegas oleh Khalifah (Presiden) Abu Bakar al-Shiddiq, dengan diperangi.
Ingat yang boleh bertindak tegas (memerangi, memenjara, membubarkan, membakar, atau kekerasan lainnya) dalam urusan bermasyarakat ini hanyalah kepala pemerintahan, khalifah atau pun presiden. Dan di negara manapun di zaman modern ini, tindakan makar terhadap kepala negara ditindak tegas dengan diperangi. Demikian juga tidak patuh kepada peraturan negara ditindak tegas dengan hukuman tertentu. Bahkan yang namanya urusan dalam negeri (seperti memadamkan pemberontakan), negara lain pun tidak dibolehkan ikut campur tangan (kecuali rejim Bush yang bertindak unilateral terhadap pemerintahan Saddam yang juga dikritik oleh banyak negara dan Paus).
Dari Urusan Negara ke Urusan Pribadi
Tapi urusan kehidupan bersama ini (beragama) telah disulap oleh liberalisme dan sekularisme menjadi urusan pribadi. Kalau sudah urusan pribadi, tidak ada hak siapa pun (orang tua, ninik mamak, kepala suku, pemimpin agama, termasuk negara) untuk mencampurinya. Pada hal tindakan manusia ini tidak ada yang namanya betul-betul urusan pribadi. Manusia adalah zoon politicon.
Agama adalah philosophy and way of life, aqidah dan syariah. Emile Durkheim (1885-1917), ahli sosiologi agama berkebangsaan Prancis, menyimpulkan bahwa esensi agama adalah untuk mewujudkan integrasi sosial. Dan agama juga the ultimate concern, diyakini sebagai jalan keselamatan dalam kehidupan seseorang dan masyarakat. Sadar akan hal tersebut, para pemikir dan pemimpin sekuler, memutarbalikkan fakta ini dengan menjadikannya urusan pribadi. Selama menjadi urusan pribadi, domain privat, urusan ruhaniah atau akhirat, adalah hak individu masing-masing. Mereka berpendapat tidak ada hak institusi agama mana pun, termasuk pemerintah, untuk campur tangan, apalagi akan mengatakan sesat dan menyimpang.
Dengan demikian, sekularisme telah berhasil menyulap esensi agama secara sosiologis (untuk memperkokoh integrasi sosial dan the ultimate concern) menjadi urusan, kebebasan dan hak asasi pribadi. Alasan empirik yang dikemukakan adalah kemunduran (The Dark Ages) Eropa di Zaman Tengah, pemasungan berkembangnya ilmu dan teknologi, serta praktek inkuisisi yang di luar peri kemanusiaan atas nama gereja, atas nama Tuhan.
Perang antar agama, baik di Eropa (Protestan lawan Katolik pada tahun 1568-1648), Perang Salib (abad ke-12-13), konflik Ambon, konflik Poso, dan lainnya, juga jadi alasan yang diterima sebagai kebenaran paham sekularisme oleh kebanyakan intelektual semenjak Renaissans sampai dewasa ini, bahkan menjadi arus utama (main stream) pemikiran modern.
Dengan diterimanya filsafat sekularisme dan liberalisme dan ditimpali pula dengan individualisme oleh banyak intelektual dan penguasa, jadilah pejuang sekularisme dan liberalisme tidak lagi bule-bule dari Barat sana seperti yang terjadi di zaman penjajahan, tetapi dari kalangan bangsa sendiri, umat seagama sendiri, bahkan teman sendiri.
Di Indonesia khususnya, kebebasan yang nyaris tanpa batas ini, marak di era reformasi ini. Dan kebebasan beragama adalah sasaran empuk para pejuang sekularisme, individualisme, dan HAM. Mereka menanamkan opini pulik bahwa tidak ada institusi agama apa pun, seperti MUI, dan bahkan juga pemerintah, berhak menguhukum sesaat dan melarang kepercayaan apa pun.
Alasan metodologi penelitian agama juga diikut-ikutkan dalam hal ini dengan mengatakan itu (fatwa MUI)
Pasalnya ajaran agama adalah yang sangat rentan untuk diotak-atik oleh seseorang yang punya sedikit kharisma untuk membodohi orang awam yang tidak sedikit jumlahnya itu. Dia bisa mengatakan apa saja tentang agama karena ajaran agama dari Tuhan, berupa wahyu yang gaib itu. Berpendapat semaunya tentang agama itu dinilai banyak pihak dewasa ini (bahkan dari kalangan dalam dan kawan sendiri) sebagai hak asasi yang tidak boleh diganggu gugat.
Satanic Versesnya Salman Rushdi, karikatur Nabi Jillands-Posten, film Fitna, bukan nabi terakhir, bukan kebebasan dan hak asasi lagi, tapi sangat melukai keyakinan umat Islam. Dia berkeyakinan demikian, terserah pribadinya, tapi menanamkan paham demikian kepada orang lain, bukan lagi urusan pribadinya. Sudah mengganggu persatuan bangsa dan persatuan umat.
Ahmadiyah juga demikian. Apa pun keyakinan beragama mereka terserah mereka. Tapi jangan mengatasnamakan Islam atau masih menamakan diri sebagai umat Islam. Kalau sudah menyatakan agama mereka tidak lagi Islam, MUI dan umat Islam tidak lagi rewel, asal mereka mematuhi modus vivendi (aturan hidup bersama) yang telah disepakati, seperti tidak mencuri umat agama lain dengan licik atau dengan mengeksploitasi kemiskinan mereka.
Atau kalau tetap mengaku diri sebagai muslim, sesuaikan keyakinan dengan yang diakui dalam Islam. Jangan menabrak prinsip-prinsip dasar. Bukankah pemberontak di negara mana pun dicap bertentangan dengan konstitusi? Demikian juga yang menabrak prinsip-prinsip ajaran agama.
Tapi urusan bermasyarakat (politik, ekonomi, hukum, pendidikan, penerangan dan lainnya), menurut mereka, adalah domain publik, diurus oleh negara. Bahkan atas nama ketentraman publik itu sendiri. Pemerintah tidak boleh campur tangan dalam urusan pribadi dan sesuatu yang dianggap sebagai hak (asasi) individu.
Terbukalah kesempatan luas untuk “mengerjain” semua agama, dengan lagu lama: devide et empera dan dari dalam sendiri dengan mengusung “agama” sekularisme, individualisme, agama tanpa wahyu, agama positif, agama sivil, atau liberalisme.
1 komentar:
Pertanyaan dan tanggapan saya singkat:
1. Benarkah Ahmadiyah menjadi alat devide et impera?
2. Faktanya, apakah benar golongan2 yang sudah ada di dalam Islam terjadi karena ada Ahmadiyah?
Posting Komentar