DALAM PEMIKIRAN RAHMAH EL-YUNUSIYAH
(Drs. H. Hamruni, M.Si)
Abstraksi:
PAI SMPN 21 PADANG-Rahmah el Yunusiyah adalah sosok pembaharu dalam pendidikan Islam bagi kaum perempuan di Minangkabau. Pada usianya yang relatif muda, 23 tahun, Rahmah el-Yunusiyah telah mendirikan lembaga pendidikan khusus bagi kaum perempuan, yaitu Diniyah School Putri (1923 M.) guna memberikan pendidikan bagi kaum perempuan Minang pada masa itu. Rahmah el-Yunusiyah tidak pernah memasuki suatu lembaga pendidikan secara tetap, baik sekolah gubernemen maupun pendidikan elementer tradisional, surau. Poisinya sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam bagi perempuan di Minangkabau didasarkan pada kemampuannya menciptakan pendidikan modern menurut modelnya sendiri, yang disesuaikan dengan kebutuhan kaum perempuan saat itu. Konsep pendidikannya mencakup pendidikan formal umum dan agama, latihan berbagai keterampilan yang produktif, dan pendidikan akhlak yang secara eksplisit didasarkan pada agama Islam dan secara implisit kepada adat.
A. PENDAHULUAN
Tumbuh dan berkembangnya sekolah keagamaan atau madrasah di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan tumbuh dan berkembangnya ide-ide pembaharuan pemikiran di kalangan umat Islam. Di permulaan abad ke 20 timbul beberapa perubahan pemikiran bagi umat Islam Indonesia dengan memasukkan beberapa ide-ide pembaharuan. Ada beberapa faktor pendorong timbulnya ide-ide pembaharuan tersebut: Pertama, adanya kecenderungan umat Islam untuk kembali kepada Al-Quran dan Al-Hadits. Kecenderungan itu dijadikan titik tolak dalam menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada. Ide pokok dari keinginan kembali kepada Al-Quran dan Al-Hadits ini dalam rangka menolak taklid. Kedua, timbulnya dorongan perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda. Ketiga, usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi, baik untuk kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan masyarakat. Keempat, dorongan berikutnya berasal dari pembaharuan pendidikan Islam. Karena cukup banyak orang dan organisasi Islam yang tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Al-Quran dan studi agama. Pribadi-pribadi dan organisasi Islam pada awal abad ke-20 berusaha untuk memperbaiki pendidikan Islam baik dari segi metode maupun isi.
Sejarah membuktikan bahwa setiap pemikiran akan berkembang dalam masyarakat bila didukung oleh beberapa faktor : Pertama, ketokohan orang yang membawa ide; kedua, kekuatan ide yang dikembangkan bersifat rasional dan argumentative; ketiga, momentum sejarah yang memberi peluang bagi berkembangnya ide tersebut, atau dengan kata lain ide tersebut sesuai dengan kebutuhan zaman; keempat, literatur yang memuat ide–ide yang dipasarkan secara meluas; kelima, para pengikut atau murid si pembawa ide yang banyak berguru dengannya, yang secara langsung atau tidak langsung turut mengembangkan ide tersebut; keenam, ide yang dimunculkan bersifat baru dan aktual sehingga menarik untuk dijadikan bahan kajian; ketujuh, berkembangnya sebuah ide tidak lepas dari forum-forum ilmiah seperti forum-forum seminar, kajian-kajian, dan studi ilmiah lainnya. Juga yang paling berpengaruh pada abad informasi sekarang ini adanya media publikasi dan media massa yang turut memperluas jaringan transformasi ide.
Pembaharuan, seperti yang telah dipahami selama ini, adalah upaya atau aktivitas untuk merubah kehidupan dari keadaan-keadaan yang sedang berlangsung kepada keadaan baru yang hendak diwujudkan. Harun Nasution menyebutkan kata pem-baharuan sama dengan modernisasi. Pembaharuan dalam Islam pada tingkat doktrin, sumber-sumber pokok ajaran Islam, khususnya Al-Quran, memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada ummat untuk mengembangkan berbagai konsep dalam kehidupan. Selanjutnya dilakukan reinterpretasi dan rekonstektualisasi secara terus menerus sesuai dengan perubahan sosial dan tantangan zaman.
Lazimnya sebuah proses sejarah, pembaharuan dalam Islam diarahkan pada upaya-upaya pembangkitan masyarakat muslim dalam proses ortodoksi ajaran-ajaran Islam. Para pembaharu melihat bahwa gerakan pembaharuan dalam bidang pendidikan ini sangat urgen dengan kondisi masyarakat. Aspek lain adalah kedatangan bangsa luar yang menjajah Nusantara, yaitu Belanda dengan mendirikan sekolah-sekolah yang berbasis sekuler. Hal ini menimbulkan sistem pendidikan yang dualistik, antara sekolah pemerintah dan lembaga pendidikan yang didirikan ummat Islam.
Dalam memahami dan menjelaskan proses pembaharuan ini ada beberapa konsep (teori) yang dijadikan landasan dan kerangka berpikir. Pertama, konsep “Challenge and Respons” (Tantangan dan Respon) yang dikemukakan Arnold J. Toynbee. Menurut Toynbee bahwa setiap gerak sejarah timbul karena adanya rangsangan untuk melakukan reaksi dengan menciptakan tanggapan dan melakukan perubahan-perubahan. Kedua, teori Feminisme yang berkaitan dengan pendidikan yaitu teori poststrukturalis dan postmodernisme . Teori ini pada dasarnya mengeritik dan mendekonstruksi filsafat yang berpihak pada fondasionalisme dan absolutisme, di mana pendidikan yang sangat berpusat pada laki-laki (male–centered) tidak dipertanyakan lagi atau sudah dianggap wajar.
Pembahasan tentang konsep Rahmah el-Yunusiah mengenai pendidikan bagi perempuan sangat relevan dengan kedua teori tersebut, karena upaya pembaharuan pendidikan yang dirintisnya tidak lepas dari situasi pendidikan Islam di Minangkabau pada masa itu yang masih tertutup dalam masalah perempuan, serta pandangan umum masyarakat Minangkabau terhadap marginalisasi peran perempuan . Dalam hal ini Rahmah melihat adanya ketidaksetaraan perempuan dengan laki-laki yang disebabkan karena mereka tidak mendapatkan kesempatan belajar yang sama.
B. BIOGRAFI RAHMAH EL-YUNUSIYAH
Rahmah el-Yunusiyah lahir di sebuah rumah gadang jalan Lubuk Mata Kucing, Kanagarian Bukit Surungan, Padang Panjang pada hari jum’at tanggal 29 Desember 1900 M, bertepatan dengan tanggal 1 Rajab 1318 H, dari keluarga Syekh Muhammad Yunus dan Rafi’ah. Terlahir sebagai anak terakhir dari lima bersaudara yaitu Zainuddin Labay (1890-1924 M), Mariah (1893-1972 M), Muhammad Rasyad (1895-1956 M), dan Rihanah (1898-1968 M). Namun Rahmah masih mempunyai saudara lain ibu, yaitu Abdus Samad, Hamidah, Pakih Bandaro, Liah, Aminuddin, Safiah, Samihah dan Kamsiah.
Ayah Rahmah el-Yunusiyah, Syekh Muhammad Yunus adalah seorang ulama besar di zamannya. Syekh Muhammad Yunus (1846-1906 M) menjabat sebagai seorang Qadli di negeri Pandai Sikat dan pimpinan Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah. Selain itu Syekh Muhammad Yunus juga ahli ilmu falak dan hisab. Ia pernah menuntut ilmu di tanah suci Mekkah selama 4 tahun. Ulama yang masih ada darah keturunan dengan pembaharu Islam yang juga seorang tokoh Paderi Tuanku Nan Pulang di Rao.
Adapun ibunda Rahmah el-Yunusiyah yang biasa disebut Ummi Rafi’ah, nenek moyangnya berasal dari negeri Langkat, Bukittinggi Kabupaten Agam dan pindah ke bukit Surungan Padang Panjang pada abad XVIII M yang lalu. Ummi Rafi’ah masih berdarah keturunan ulama, empat tingkat diatasnya masih ada hubungan dengan mamak Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Ummi Rafi’ah yang bersuku Sikumbang adalah anak keempat dari lima bersaudara. Ia menikah dengan Syekh Muhammad Yunus saat berusia 16 tahun, sedangkan Syekh Muhammad Yunus berusia 42 tahun.
Dari silsilah keturunan Rahmah el-Yunusiyah nampak bahwa ia berasal dari keturunan ulama. Dalam usia enam belas tahun ia menikah dengan seorang alim dan mubaligh bernama Haji Bahauddin Lathif dari Sumpur Padang Panjang. Perkawinan ini tidak berlangsung lama, hanya enam tahun, pada tahun 1922 keduanya bercerai atas kehendak kedua belah pihak dan selanjutnya menganggap sebagai dua orang bersaudara.
Dari perkawinan ini Rahmah tidak mempunyai anak. Sejak perceraian tersebut, ia tidak bersuami lagi. Rupanya hal ini memberi faedah kepadanya sendiri, sehingga ia dapat menempatkan seluruh hidupnya kepada perguruan yang didirikannya. Ia berpulang ke rahmatullah pada hari Rabu tanggal 9 Zulhijjah 1388 Hijriah atau tanggal 26 Februari 1969 pada pukul 19.30 di rumahnya sendiri di Padang Panjang. Jenazahnya dikuburkan di perkuburan keluarga disamping rumahnya yang juga di samping perguruan yang ia dirikan. Setiap orang yang melewati rumah dan perguruannya akan dapat melihat nisan kuburannya di pinggir jalan Lubuk Mata Kucing.
Rahmah el-Yunusiyah berasal dari keluarga taat dalam masalah keagamaan. Kondisi inilah nantinya yang akan berpengaruh pada pembentukan pribadi Rahmah. Ia menjadi orang yang cinta mendalami ajaran-ajaran agama serta memiliki perhatian sangat besar terhadap kondisi masyarakat pada masanya khususnya kalangan kaum wanita. Karena itu pendidikan yang diperoleh Rahmah pada prinsipnya banyak dari keluarganya sendiri yang memang sangat menaruh perhatian pada masalah-masalah keagamaan.
Syekh Haji Muhammad Yunus, ayah dari Rahmah telah meninggal dunia pada tahun 1906 M., ketika itu Rahmah masih kanak–kanak sehingga ia tidak banyak mendapatkan pendidikan dari ayahnya. Ia dibesarkan oleh ibu dan diasuh oleh kakaknya yang telah berumah tangga. Sejak kecil, Rahmah tidak pernah bersekolah di Sekolah Dasar (Sekolah Desa, Sekolah Gubernemen) yang memang telah ada juga di Minangkabau pada masa kanak-kanaknya dulu. Meskipun begitu, ia banyak belajar dari lingkungannya. Pada usia enam tahun beliau mulai belajar membaca Qur’an kepada Engku Uzair gelar Malim Batuah, salah seorang dari murid Syekh Haji Muhammad Yunus. Ketika usianya delapan tahun, Rahmah dituntun tulis–baca huruf latin oleh kakaknya Zainuddin Labay dan Muhammad Rasyad yang pernah belajar di Sekolah Desa. Umi Rafi’ah, ibunya juga ikut mengajari Rahmah berhitung dengan angka–angka Arab (angka Melayu). Kepandaian membaca dan menulis ini, kemudian hari sangat menolongnya dalam menambah ilmu pengetahuannya, karena ia termasuk salah seorang anak yang senang membaca.
Sejak usia dini Rahmah aktif mengunjungi pengajian–pengajian yang sangat banyak diadakan di lingkungan masyarakat sekitarnya. Pada saat itu telah ada di lingkungan masyarakat Minangkabau sekitar delapan surau yang melakukan kegiatan pengajian secara bergiliran dari satu surau ke surau yang lain. Dengan cara demikian ia banyak memperoleh pengetahuan agama dan memilih guru-guru yang dapat memuaskan hatinya. Walaupun usianya masih sangat muda untuk mengikuti pengajian tersebut, namun bagi Rahmah mengunjungi pengajian ini nampaknya merupakan kesenangan tersendiri pula bagi dirinya.
Setelah Diniyah School yang didirikan kakaknya pada tanggal 10 Oktober 1915 berdiri, ia ikut belajar di perguruan ini. Ia banyak memperoleh pengetahuan praktis yang berkenaan dengan pergaulan, terutama pergaulan antara murid-murid perempuan dan laki-laki serta watak manusia yang berbagai ragam. Dahulunya ia jarang atau tidak diperkenankan bergaul dengan anak-anak laki-laki, tapi setelah ia bersekolah di perguruan ini, ia dapat bergaul dengan murid laki-laki. Ia dapat bertukar fikiran dengan mereka baik mengenai hukum Islam, sosial, budaya dan pergaulan (muamalah). Dari pengenalan berbagai macam watak manusia ini ia mulai menyadari dirinya dan keadaan masyarakat lingkungannya, terutama masyarakat wanita, yaitu mereka yang tidak memperoleh kesempatan menuntut ilmu sebagaimana yang dialaminya.
Selama ia menjadi siswa Diniyah School, ia dapat menuntut ilmu dengan baik dan dengan kecerdasannya Rahmah mendorong dirinya untuk bersikap kritis, tidak puas dengan sistem koedukasi pada Diniyah School yang kurang memberikan penjelasan terbuka kepada siswa puteri mengenai persoalan khusus perempuan. Rasa ketidak-puasannya ini dibicarakan dengan tiga temannya sesama wanita, yaitu Rasuna Said dari Maninjau, yang kemudian hari namanya diabadikan sebagai Pahlawan Nasional, Nanisah dari Bulaan Gadang Banuhampu, dan Jawana Basyir (Upik Japang) dari Lubuk Agung. Mereka berempat bersepakat untuk membentuk kelompok belajar. Rahmah mengajak ketiga temannya ini untuk menambah ilmu agama secara mendalam di luar perguruan di antaranya di Surau Jembatan Besi.
Bagi Rahmah pengajian dan pelajaran yang diterimanya di surau ini pun, juga belum memuaskan hatinya, karena banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan wanita yang ditanyakannya tidak memperoleh jawaban yang memuaskan sebagaimana yang dialaminya di Diniyah School. Karena itu Rahmah akhirnya meminta kepada Syekh Abdul Karim Amrullah untuk berkenan memberikan pengajian secara privat di rumahnya di Gatangan. Di sini ia memperdalam pengajian mengenai masalah agama dan wanita, di samping itu juga ia mempelajari bahasa Arab, fiqih dan ushul fiqih. Ia baru merasakan adanya kepuasan dan telah menemukan apa yang dicarinya selama ini.
Semangat Rahmah dalam mempelajari ilmu selain agama dan bahasa Arab, terus berkobar. Sekitar tahun 1931-1935, ia mengikuti kursus ilmu kebidanan di RSU Kayu Tanam dan mendapat izin praktek / ijazah bidan dari dokter. Dalam bidang kebidanan ini ia juga mendapat bimbingan yang mula-mula diberikan dari kakak ibunya Kudi Urai, seorang bidan yang menolong kelahiran dirinya dan Sutan Syahrir (Mantan Perdana Menteri RI). Selain itu, ia belajar ilmu kesehatan dan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dari enam orang dokter yang juga gurunya dalam kebidanan: dokter Sofyan Rasyad dan dokter Tazar di rumah sakit umum Kayu Tanam (mendapat izin praktek dan ijazah dengan kedua dokter ini), dokter A. Saleh di RSU Bukittinggi, dokter Arifin dari Payakumbuh, dan dokter Rasjidin dan dokter A. Sani di Padang Panjang. Untuk mendalami praktek kebidanan dan ilmu kesehatan ini ia belajar sambil praktek di RSU Kayu Tanam.
Rahmah juga belajar gimnastik (olahraga dan senam) dari seorang guru pada Meisjes Normal School (sebuah pendidikan guru) di Guguk Malintang yaitu Mej. Oliver (nona Olvier). Kemudian ia juga mempelajari cara bertenun tradisional, yakni: bertenun dengan menggunakan alat tenun bukan mesin yang pada masa itu banyak dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Ia mendatangi beberapa pusat pertenunan rakyat seperti Pandai Sikat, Bukittinggi dan Silungkang.Ilmu bertenun ini ia lengkapi dengan belajar jahit-menjahit. Kedua ilmu ini yakni: bertenun dan jahit-menjahit dimasukkannya kedalam kurikulum perguruannya. Mengenai ilmu–ilmu umum seperti ilmu hayat, ilmu alam, ilmu bumi dan lainnya, ia pelajari sendiri dari buku. Kemudian semua ilmu yang ia peroleh dengan kursus atau belajar sendiri ini ia ajarkan kepada murid–muridnya, kelak setelah ia mendirikan sekolah Diniyah Puteri tahun 1923.
Tempaan pengalaman kehidupan telah membentuk kepribadian Rahmah menjadi seorang yang tabah, penuh toleransi dan teguh pendirian, serta berkeimanan yang kuat, akidah yang tangguh dan ketakwaan yang kokoh. Untuk mewujudkan cita–citanya dan bila menghadapi kesulitan, dia semakin bertaqarrub dan meningkatkan diri kepada Allah dengan melakukan Sholat Tahajjud dan bermunajat di kesunyian malam.
Demikianlah dilihat dari usaha Rahmah menuntut ilmu, nampak bahwa hal tersebut merupakan menifestasi dari ketidakpuasannya terhadap pengetahuan yang diperolehnya dalam masalah kewanitaan. Ia juga merasa kecewa melihat kaumnya tidak bisa memperoleh pendidikan yang memadai sebagaimana yang dialaminya. Padahal Rahmah meyakini pentingnya peranan pendidikan sebagai salah satu jalan untuk mengangkat derajat kaum perempuan.
C. PENDIDIKAN PEREMPUAN
Perempuan, dalam pandangan Rahmah el-Yunusiyah, mempunyai peran penting dalam kehidupan. Perempuan adalah pendidik anak yang akan mengendalikan jalur kehidupan mereka selanjutnya. Atas dasar itu, untuk meningkatkan kualitas dan memperbaiki kedudukan perempuan diperlukan pendidikan khusus kaum perempuan yang diajarkan oleh kaum perempuan sendiri. Dalam hal ini perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di bidang intelektual, kepribadian ataupun keterampilan.
Ketika Ia mendirikan gedung perguruannya pada tahun 1927 dan mengalami kekurangan biaya penyelesaian gedung tersebut, ia menolak bantuan yang diulurkan kepadanya dengan halus dan bijaksana. Ia ingin memperlihatkan kepada kaum laki-laki bahwa wanita yang selama ini dipandang lemah dan rendah derajatnya dapat berbuat sebagaimana laki-laki, bahkan bisa melebihinya. Maka secara diplomatis Rahmah mengatakan:
“Usul ini sangat dihargakan oleh pengurus dan guru-guru sekaliannya, akan tetapi buat sementara golongan perempuan (puteri) akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi dan mana kala tenaga putri tidak sanggup lagi menyelamatkan pencalang itu, maka dengan sepenuh hati pengharapan guru-guru dan pengurus akan memohonkan kembali usul-usul engku-engku sekarang, kepada engku-engku yang menurut kami patut kami menyerahkan pengharapan kami itu”.
Tampaknya pikiran Rahmah el-Yunusiyah setengah abad yang lalu sejalan dengan pendapat kaum wanita dewasa ini yaitu: “membangun masyarakat tanpa mengikutsertakan kaum wanita adalah sebagai seekor burung yang ingin terbang dengan satu sayap saja. Mendidik seorang wanita berarti mendidik seluruh manusia ”.
D. CITA-CITA PENDIDIKANNYA
Dengan berdirinya Diniyah Putri pada 1923, sang pendiri, Rahmah el-Yunusiyah, memperluas misi kaum modernis untuk menyediakan sarana pendidikan bagi kaum perempuan yang akan menyiapkan mereka menjadi warga yang produktif dan muslim yang baik. Ia menciptakan wacana baru di Minangkabau, dan meletakkan tradisi baru dalam pendidikan bagi kaum perempuan di kepulauan Indonesia. Diniyah Putri adalah akademi agama pertama bagi putri yang didirikan di Indonesia.
Anak–anak perempuan dan perempuan dewasa mungkin saja mendapat dorongan untuk mengaji Al-Qur’an dan shalat; tetapi tidak seperti kaum laki–laki, mereka memiliki sedikit peluang untuk dapat melek aksara Melayu --yang menjadi bahasa nasional Indonesia--, atau Belanda, --sebagai bahasa pendidikan modern--. Rahmah el-Yunusiyah percaya bahwa kaum perempuan membutuhkan model pendidikan tersendiri yang terpisah dari laki–laki, karena ajaran Islam memberikan perhatian khusus kepada watak dan peran kaum perempuan dan mereka membutuhkan lingkungan pendidikan tersendiri di mana topik–topik ini bisa dibicarakan secara bebas.
Rahmah merasa bahwa pendidikan bersama (campuran) membatasi kemampuan kaum perempuan untuk menerima pendidikan yang cocok dengan kebutuhan mereka. Rahmah ingin menawarkan kepada anak–anak perempuan pendidikan sekuler dan agama yang setara dengan pendidikan yang tersedia bagi kaum laki–laki, lengkap dengan program pelatihan dalam hal keterampilan yang berguna sehingga kaum perempuan dapat menjadi anggota masyarakat yang produktif.
Tujuan akhir Rahmah adalah meningkatkan kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat melalui pendidikan modern yang berlandaskan prinsip–prinsip Islam. Ia percaya bahwa perbaikan posisi kaum perempuan dalam masyarakat tidak dapat diserahkan kepada pihak lain, hal ini harus dilakukan oleh kaum perempuan sendiri. Melalui lembaga seperti itu, ia berharap bahwa perempuan bisa maju, sehingga pandangan lama yang mensubordinasikan peran perempuan lambat laun akan hilang dan akhirnya kaum perempuan pun akan menemukan kepribadiannya secara utuh dan mandiri dalam mengemban tugasnya sejalan dengan petunjuk agama. Berulangkali Rahmah memohon petunjuk kepada Allah perihal cita–citanya itu, sebagaimana tertuang dalam doanya yang ditulis di buku catatannya:
Ya Allah Ya Rabbi, bila ada dalam ilmu-Mu apa yang menjadi cita–citaku ini untuk mencerdaskan anak bangsaku terutama anak-anak perempuan yang masih jauh tercecer dalam bidang pendidikan dan pengetahuan, ada baiknya Engkau ridhai, maka mudahkanlah Ya Allah jalan menuju cita–citaku itu. Ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk hamba-Mu yang lemah ini. Amin.
Adapun cita – citanya dalam bidang pendidikan ialah : “Ia sangat ingin melihat kaum wanita Indonesia memperoleh kesempatan penuh menuntut ilmu pengetahuan yang sesuai dengan fitrah wanita sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari–hari dan mendidik mereka sanggup berdiri sendiri di atas kekuatan kaki sendiri, yaitu menjadi ibu pendidik yang cakap dan aktif serta bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air, dimana kehidupan agama mendapat tempat yang layak”
Selanjutnya cita–cita pendidikannya ini ia rumuskan menjadi tujuan perguruan Diniyah Putri yang didirikannya, yaitu: “Melaksanakan pendidikan dan pengajaran berdasarkan ajaran Islam dengan tujuan membentuk putri yang berjiwa Islam dan Ibu Pendidik yang cakap, aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air dalam pengabdian kepada Allah subhanahu wa ta’ala”.
Melihat tekad dan kemauan keras adiknya itu, Labay mendukung cita–citanya. Kemauan yang keras membaja ini ia pegangi dari ayat Al-Qur’an surat Muhammad ayat 7 yang artinya: “Hai orang–orang yang beriman , jika kamu menolong Allah, maka Allah akan menolong kamu pula”. Begitu yakinnya ia akan janji Allah ini sehingga selalu dijadikannya pegangan dalam berbuat kebajikan.
Dalam meningkatkan harkat dan martabat perempuan lewat pendidikan ini, Rahmah mendasarkan argumennya kepada hadis yang menyatakan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi semua muslim, laki–laki maupun perempuan. Bunyi hadis ini, kata Rahmah, sering dikutip di hadapan saya oleh laki–laki maupun perempuan Minang sebagai bukti bahwa kaum perempuan muslim diperintahkan oleh Tuhan untuk menuntut ilmu, dan cara terbaik untuk melaksanakan ini adalah dengan masuk sekolah.
Cita–cita dan gagasan Rahmah el-Yunusiyah tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan mungkin dipengaruhi oleh pengalaman dan capaian pendidikannya sendiri. Meskipun Rahmah hanya sempat mengecap pendidikan dasar di Padang Panjang, studinya yang mendalam terhadap agama adalah sesuatu yang tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad kedua puluh di Minangkabau. Ia memperoleh pendidikan melalui pengaturan khusus dengan beberapa ulama modernis yang terkemuka, dalam pola kaum muda di zamannya. Selain itu, Rahmah belajar kerumahtanggaan dengan seorang bibi maternal, dan mempelajari soal kesehatan dan pemberian pertolongan pertama di bawah bimbingan enam orang dokter kelahiran India. Ia belajar senam dengan seorang guru Belanda di Sekolah Menengah Putri di Padang Panjang. Pada dasarnya Rahmah memperoleh pendidikan atas inisiatifnya sendiri, pada saat pendidikan formal bagi kaum perempuan hanya tersedia bagi segelintir orang.
Gagasan Rahmah untuk mendirikan pendidikan bagi kaum perempuan sempat dirundingkannya dengan teman–temannya di Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS) yang ia pimpin, merekapun menyetujui dan mendukung gagasan itu. Maka pada tanggal 1 November 1923, sekolah itu di buka dengan nama Madrasah Diniyah lil al–Banat, dipimpin oleh Rangkayo Rahmah el–Yunusiyah, yang oleh murid–muridnya dari angkatan tiga puluhan akrab dipanggil “ Kak Amah”. Murid angkatan pertama terdiri dari kaum ibu muda berjumlah 71 orang, dengan menggunakan Mesjid Pasar Usang sebagai tempat belajar. Pada waktu itu proses belajar berlangsung dengan sistem halaqah, dan hanya mempelajari ilmu–ilmu agama dan gramatika bahasa Arab.
E. PERKEMBANGAN MADRASAH DINIYAH PUTERI
Dalam perkembangan selanjutnya, sekolah ini menerapkan sistem pendidikan modern yang mengintegrasikan pengajaran ilmu–ilmu agama dan ilmu–ilmu umum secara klasikal, serta memberi pelajaran ketrampilan. Meskipun demikian, ilmu–ilmu agama tetap menjadi pelajaran pokok dan merupakan kekhususan sekolah ini; karenanya dapat dibedakan dengan sekolah Dewi Sartika dan Maria Walanda yang lebih menitikberatkan pada pelajaran kejuruan dan keputrian.
Untuk menarik minat masyarakat, baik kaum intelektual maupun kaum adat (golongan yang sangat kuat memegang faham kuno:bahwa perempuan tidak perlu bersekolah), dan khususnya kaum ibu, maka sekolah ini menggunakan tiga macam perkataan yang menjadi satu yaitu: Dinijah School Poeteri, dengan nama yang spesifik tersebut masyarakat menjadi tertarik dan pada masa penjajahan jepang dipopulerkan dengan nama “Sekolah Diniyah Puteri”, sedang pada masa sekarang dikenal dengan “Perguruan Diniyah Putri ” Padang Panjang. Nama ini juga sekaligus sebagai perlambang pembaharuan pendidikan agama Islam untuk wanita, sehingga semua pihak dan golongan masyarakat yang ingin maju pendidikan anak gadisnya ke perguruan ini.
Pemakaian kata “Diniyah” dalam nama “Diniyah School Putri”, selain untuk memberikan pernyataan bahwa dalam sekolah ini dididik dan diajarkan ajaran–ajaran Agama Islam, juga ia membawakan pengertian bahwa Diniyah School Putri dari Rahmah el-Yunusiyah adalah adik dari “Diniyah School” dari Zainuddin Labay, sebagaimana Ibu Rahmah itu sendiri adalah adik dari Engku Zainuddin.
Pada permulaan berdirinya perguruan ini banyak dicemooh. Di antara ejekan yang dilontarkan yang sangat menusuk hati adalah apakah mungkin orang perempuan bisa mengajar dan menjadi guru, coba lihat mereka mengepit buku, tidak ke dapur. Ejekan dan sindiran yang bermacam–macam itu tidak menggoyahkan kemauan dan cita–cita Rahmah, bahkan ejekan dan cemoohan itu dijadikannya pendorong yang kuat dan menebalkan keyakinannya serta menjadi cambuk untuk berusaha lebih giat lagi.
Menurut Rahmah bahwa masyarakat bisa baik melalui rumah tangga sebab rumah tangga adalah tiang masyarakat dan masyarakat tiang negara. Wanita adalah tiang rumah tangga, selain Adam, tiap manusia dilahirkan oleh wanita. Sebab itu ia menginginkan melalui pendidikan, setiap wanita menjadi ibu yang baik dalam rumah tangga, masyarakat dan di sekolah.
Tujuan ini akan dapat dicapai bila kaum wanita mendapat pendidikan khusus dengan sistem tersendiri. Ia melihat bahwa hukum agama sangat erat sangkut pautnya dengan seluk beluk kewanitaan. Maka ia berkesimpulan perlu ada sebuah lembaga pendidikan khusus untuk anak-anak perempuan.
Sudah menjadi kenyataan umum pada waktu itu. bahwa yang mendirikan dan menyelenggarakan dunia pendidikan adalah kaum pria. Di Pulau Jawa misalnya semua pesantren didirikan oleh kaum pria. Apalagi pada masa itu adat sangat kuat di Minangkabau. Tapi Rahmah el-Yunusiyah dapat menunjukkan kepada masyarakat dan kepada dunia, bahwa wanita dapat berbuat sebagaimana halnya kaum pria. Visi Rahmah tentang peran perempuan adalah peran dengan beberapa segi: sebagai pendidik, pekerja sosial demi kesejahteraan masyarakat, teladan moral, muslim yang baik dan juru bicara untuk mendakwahkan pesan-pesan Islam. Sebelum Rahmah mempeloporinya dengan bepergian dan berpidato dalam rangka mengumpulkan dana, kaum perempuan tidak pernah berpidato dalam acara–acara keagamaan atau adat dihadapan para pendengar yang bercampur antara laki – laki dan perempuan.
Pandangan yang berkembang di Minangkabau pada masa itu adalah bahwa secara moral tidak pantas, bahkan haram, bagi seorang perempuan berpidato di depan hadirin di mana terdapat kaum laki-laki. Pada tahun 1930 Muhamadiyah, sebuah organisasi modernis, mampu menegosiasikan dikeluarkannya fatwa yang menyatakan bahwa perempuan tidak secara eksplisit dilarang berpidato di depan hadirin yang mencakup kaum laki-laki. Bahkan pada tahun 1980-an, tidak banyak perempuan yang memberikan ceramah di depan pendengar yang bercampur antara laki-laki dan perempuan di masjid-masjid kota Minangkabau untuk pertemuan mingguan. Namun di Jakarta perempuan lebih sering memberikan ceramah di depan pendengar campuran serta tampil di radio dan televisi.
Meskipun perempuan tidak ikut ambil bagian dalam pidato pada acara yang formal atau khutbah dalam acara keagamaan di depan pendengar campuran, mereka memiliki kekuasaan yang jelas dalam upacara-upacara adat. Seraya mendahului argumen-argumen yang di kemukakan kaum feminis nasionalis dewasa ini, dengan adanya gerakan dan kegiatan berorientasi modernis yang dipelopori oleh Rahmah El-Yunusiyah, kaum perempuan Minangkabau tampil sebagai juru bicara agama dan didorong untuk merealisasikan potensi mereka sepenuhnya sebagai muslim, yang modelnya tampaknya terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Sebagaimana tercantum dalam QS. At-Taubah: 71, yang artinya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar,mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesunguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
F. SEKOLAH-SEKOLAH YANG DIDIRIKAN
Perjuangan Rahmah el-Yunusiyah dalam usaha meningkatkan pendidikan untuk kaum perempuan tidak hanya dengan mendirikan sekolah untuk kaum perempuan yang berprinsip pada agama Islam (Al-Qur’an dan Hadits), yaitu pada tanggal 1 November 1923, Ia meresmikan berdirinya perguruan yang dicita–citakannya. Mula-mula perguruan ini bernama al-Madrasah Diniyah lil Banat (sekolah agama untuk anak-anak wanita) kemudian diubah menjadi Diniyah School Putri. Setelah Indonesia merdeka nama perguruan dipopulerkan dengan nama Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang.
Zainuddin Labay begitu singkat mendampingi Rahmah dalam mengelola Diniyah School Putri. Dia wafat pada 10 Juli 1924, ketika usia sekolah itu belum genap 9 bulan. Banyak pihak yang menyangka setelah Labay wafat sekolah itu tidak akan berusia lama. Namun sebaliknya, Rahmah mampu memimpin dan mengembangkannya secara mandiri dengan semangat pembaharuan pendidikan yang diletakkan Labay. Karenanya Deliar Noer memandang Rahmah sebagai penerus cita–cita Labay. Secara bertahap Rahmah membenahi sistem pengajaran Diniyah School Putri, baik dari segi kurikulum maupun metode. Di samping itu dengan segala kekuatan yang dimiliki ia mengupayakan pengadaan sarana dan prasarana pendidikannya.
Pada tahun 1925, ia merencanakan membangun gedung sendiri yang dapat menampung seluruh murid. Sebelum rencana tersebut dapat terlaksana, Padang Panjang dan sekitarnya ditimpa gempa bumi (28 Juni 1926) yang menghancurkan bangunan-bangunan termasuk gedung sekolah dan asramanya. Namun musibah tersebut tidak mematahkan tekad Rahmah dan teman-temannya untuk memulai kembali usahanya. Setelah 45 hari sesudah gempa ia bersama-sama dengan majelis guru dan dibantu oleh murid-murid Thawalib School Padang Panjang, kembali secara gotong royong mendirikan beberapa rumah bambu diatas sebidang tanah wakaf dari ibunya, Ummi Rafi’ah, dengan atap daun rumbia berlantaikan tanah. Setelah rumah bambu Ini berdiri, kemudian dijadikan rumah darurat untuk memulai kembali kegiatan perguruanya.
Pengumuman disebarkan ke seluruh daerah asal murid, bahwa perguruan Diniyah Putri akan memulai kembali dan kepada orang tua dipersilahkan untuk menyerahkan kembali anak-anaknya untuk dididik. Sambil pelajaran dimulai perguruan darurat ini terus membenahi dirinya menurut kemampuan yang ada. Oleh para orang tua murid didirikanlah satu komite penyelamat perguruan ini untuk mencari dana guna membangun kembali gedung yang telah runtuh itu.
Di samping mendirikan Diniyah School Putri, ia pun mendirikan Menyesal School, yaitu sekolah pemberantasan buta huruf di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Sekolah ini didirikan pada tahun 1925 dan berlangsung selama tujuh tahun yaitu sampai tahun 1932. Kemudian sekolah ini tidak dilanjutkan. Untuk menyebarluaskan cita-cita pendidikannya, ia mengadakan perjalanan berkeliling ke daerah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi dan Semenanjung Malaya (tahun 1928 dan tahun 1934).
Pada tahun 1935 ia mendirikan tiga buah perguruan putri di Batavia (Jakarta), yaitu di Kwitang, Jatinegara, dan di Tanah Abang. Pada masa pendudukan Jepang, perguruan tersebut tidak dapat di teruskan. Menjelang berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, Rahmah sempat pula mendirikan empat buah lembaga pendidikan putri baru lainnya sebagai pengganti lembaga pendidikan terdahulu. Pada tahun 1938 ia mendirikan Yunior Institut Putri, sebuah sekolah umum setingkat dengan Sekolah Rakyat pada masa penjajahan Belanda atau Vervolgschool, Islamitisch Hollandse School (HIS) setingkat dengan HIS (Hollandsch Inlandse School), yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, sekolah DAMAI (Sekolah Dasar Masyarakat Indonesia) dan Kulliyatul Mu’allimin El Islamiyah (KMI), sekolah Guru Agama Putra pada tahun 1940. KMI Putra ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan guru–guru agama putra yang banyak didirikan oleh masyarakat di Sumatera Barat. Pada zaman Jepang keempat lembaga pendidikan putri tersebut tidak dapat diteruskan.
Pada tahun 1947 ia kembali mendirikan empat buah lembaga pendidikan agama putri dalam bentuk lain, yaitu Diniyah Rendah Putri (SDR) lama pendidikannya tujuh tahun, setingkat dengan Sekolah Dasar enam tahun yang didirikan oleh pemerintah, Sekolah Diniyah Menengah Pertama Putri Bagian A Tiga Tahun (DMP Bagian A), Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian B Lima Tahun (DMP Bagian B), dan Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian C Dua Tahun (DMP Bagian C). Tiga buah sekolah yang disebut terakhir setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) dengan bidang studi agama dan bahasa Arab menjadi mata pelajaran pokok.
Selain sekolah–sekolah tersebut di atas pada tahun 1964, Rahmah mendirikan Akademi Diniyah Putri yang lama pendidikannya tiga tahun. Tanggal 22 November 1967 Akademi ini dijadikan Fakultas Dirasat Islamiyah dan merupakan fakultas dari Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Fakultas ini “diakui” sama dengan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk tingkat Sarjana Muda.
Untuk mencapai tujuannya Rahmah menganut sistem pendidikan terpadu, yaitu : memadukan pendidkan yang diperoleh dari rumah tangga, pendidikan yang diterima sekolah dan pendidikan yang diperoleh dari masyarakat di dalam pendidikan asrama. Dengan sistem terpadu ini, teori ilmu pengetahuan dan agama serta pengalaman yang dibawa oleh masing–masing murid dipraktekkan dan disempurnakan dalam pendidikan asrama di bawah asuhan guru–guru asrama.
Kurikulumnya terdiri dari kelompok bidang studi agama, bahasa Arab, ilmu pengetahuan dan kelompok bidang studi ini di orientasikan kepada pembentukan pribadi muslimah dan kualitas diri. Dewasa ini lembaga pendidikan yang dikelola oleh para penerusnya adalah Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian B dan C, Kulliyatul Mu’allimat el- Islamiyah dan perguruan Diniyah Putri. Seperti sekolah–sekolah Islam kontemporer lainnya di Sumatera Barat, Diniyah Putri menawarkan tiga ijasah: satu miliknya sendiri, satu untuk pendidikan sekolah umum, dan satu pendidikan Islam yang diakui oleh pemerintah. Sehingga siswa-siswa memenuhi syarat untuk masuk ke universitas umum maupun universitas Islam.
Di lingkungan Diniyah Putri, corak saling melengkapi antara adat dan Islam ditekankan. Dalam perspektif yang didukung oleh kaum modernis Minang, tatanan sosial dan adat membentuk tatanan moral yang dilegitimasikan oleh Islam. Dalam tatanan suci ini ,adat dan Islam dipandang menyatu bukan dari segi yang spesifik, melainkan dari segi kandungan dan semangatnya. Rahmah mengutamakan bidang pendidikan di atas kepentingan lainnya, meskipun di kemudian hari ia juga berkiprah di dunia politik. Atas dasar ini ia menempatkan sekolah secara independen, bebas dari afiliasi dengan ormas atau orpol manapun. Setahun sebelum Muhammadiyah memasuki Minangkabau, Diniyah School Putri diajak bergabung dengan organisasi sosial–keagamaan dan disarankan agar namanya diganti dengan Asyiyah School atau Fatimiyah School. Namun saran tersebut tidak di terima oleh para guru diniyah School Putri.
Independensi sekolah ini juga ditunjukkan saat diselenggarakan permusyawaratan besar guru-guru agama Islam se-Minangkabau yang ada di bawah Permi di padang panjang pada tahun 1931. Wakil dari guru Diniyah School Putra maupun Putri yang datang sebagai pendengar dan tidak memberi respons; tidak ada seorang pun dari guru-guru sekolah ini yang duduk di Dewan Pengajaran Permi yang bertugas untuk menyatukan pelajaran sekolah-sekolah Islam. Sebagai pemimpin Permi, Mukhtar Lutfi mempertanyakan hal tersebut. Rahmah pun mengemukakan pendapatnya, “Biarkan perguruan ini terasing selama-lamanya dari partai politik, dan tinggalkanlah ia menjadi urusan dan tanggungan orang banyak (umum), sekalipun umum itu dalam aliran politiknya bermacam warna dan ragam, tapi untuk perguruan dan penanggung jawab atasnya haruslah mereka itu satu adanya” .
Lebih jauh independensi sekolah ini juga ditunjukkan Rahmah ketika dia menolak upaya penggabungan sekolah-sekolah Islam di Minangkabau oleh Mahmud Yunus. Seperti diketahui, pada tahun 1930-an ini pembaharuan sekolah agama berkembang pesat, namun tidak ada keseragaman program atau buku standar yang digunakan. Melihat keadan ini Mahmud Yunus alumni Universitas Cairo yang saat itu menjadi Direktur Normal School, ingin menerapkan konsep pembaharuan pendidikannya dan memprakarsai pembentukan Panitia Islah al-Madaris al- Islamiyah Sumatera Barat. Namun Rahmah tetap teguh pada pendirian independensi sekolahnya, maka ia menolak keras ide itu.
Menurutnya, lebih baik memelihara satu saja tapi terawat daripada bergabung tapi porak poranda. Diniyah School pun tidak akan terikat dengan keputusan permusyawa-ratan itu. Kondisi sekolah-sekolah agama tersebut masih seperti semula hingga 1936, yakni setelah konferensi seluruh organisasi berhasil dalam standarisasi sekolah-sekolah agama kaum muda. Berhadapan dengan politik kolonialisme pemerintahan Belanda, Rahmah memilih sikap nonkooperatif dalam memperjuangkan kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Atas dasar sikap ini, ia menolak bekerja sama dengan Belanda termasuk dalam hal pemberian subsidi yang berulangkali ditawarkan. Subsidi pemerintah kolonial akan membuat dirinya terikat, dan mengakibatkan keleluasan pemerintah kolonial mempengaruhi pengelolaan program pendidikan Diniyah School Putri ini. Kondisi seperti itu telah di alami Adabiyah School yang pada tahun 1915 menerima subsidi pemerintah kolonial.
Dengan tegas dan bijaksana Rahmah menyatakan bahwa perguruannya akan berusaha dengan kekuatan sendiri menanggulangi berbagai kesulitan yang dihadapi. Independensi sekolah ini sangat dikhawatirkan oleh pemerintah kalau di kemudian hari akan melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang militan, sebagaimana yang pernah dilakukan surau-surau dalam mencetak tokoh-tokoh pembaharu dan pejuang perang paderi. Sikap independen dan nonkooperatif tersebut, di samping menggambarkan ciri khas kepriba-diannya yang gigih, juga merupakan respons terhadap situasi politik saat itu demi kelangsungan visi sekolahnya. Begitu pula organisasi kependidikan dan gerakan yang diprakarsainya, praktis visi yang sama : seperti “Perikatan Guru-Guru Agama Putri Islam” (PGAPI) yang didirikan pada tahun 1933 untuk menghimpun guru-guru yang tidak bergabung dengan Dewan Pengajaran Permi. Kemudian “Komite Penolakan Ordonansi Sekolah Liar” (1933) didirikan untuk menentang kebijaksanaan pemerintah kolonial yang memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar (1932) di Sumatera Barat.
Pada mulanya Diniyah Putri muncul sebagai tantangan terhadap adat, dalam hal ini kaum perempuan ingin melangkah melampaui urusan rumah tangga. Dengan menggapai peran-peran diluar rumah yang dapat didukung oleh penafsiran kaum modernis terhadap Islam, oleh karena itu kaum perempuan memperluas cakrawala, jaringan, dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi di dalam wacana muslim dan nasionalis yang lebih luas. Kaum perempuan Minang memiliki strategi alternatif, selain yang disuarakan oleh Diniyah Putri menyangkut soal bagaimana menjadi Seorang Muslim dan seorang Minang. Namun demikian Diniyah terus memperlihatkan keinginan untuk menghadapi isu-isu kontemporer yang relevan bagi kaum perempuan dan masyarakat.
Bentuk realisasi dari pemikiran pendidikan Rahmah el-Yunusiyah adalah berupa pendirian sekolah–sekolah bagi perempuan. Hal ini merupakan tanggapan dari situasi pada masa itu dan sejalan pula dengan teorinya Arnold J. Toynbee yaitu : “Challenge and Respons”. Sedangkan tujuan pendidikannya untuk mencerdaskan kaum perempuan agar pendidikan pada masa itu tidak berpusat pada laki–laki, dengan demikian hal ini sejalan dengan teori Feminisme, yaitu teori poststrukturalis dan postmodernisme.
Rahmah mengakui peran perempuan sebagai ibu dan pendidik anak-anak mereka, seperti yang dibicarakan dalam wacana muslim kontemporer, baik di Minangkabau maupun di pusat-pusat intelektual Muslim di Indonesia seperti Jakarta. Rekonsiliasi antara peran-peran ini dengan tuntutan kehidupan kontemporer adalah tema yang popular dan menonjol dalam wacana kaum muslim di Indonesia dewasa ini, karena meningkatnya jumlah kaum perempuan yang terdidik dan berasal dari kelas menengah yang mencari kerja dan karier membuat mereka meninggalkan rumah sepanjang hari.
Peran isteri dan ibu sangat disanjung tinggi oleh para intelektual muslim perempuan seperti Dr. Zakiah Daradjat, psikolog kelahiran Minangkabau, perempuan sebagai isteri dan ibu dipandang oleh para intelektual Muslim perempuan sebagai sangat penting bagi pemeliharaan tatanan moral yang menempatkan keluarga sebagai basisnya dan bagi upaya penyiapan pendidikan dan perkembangan moral anak-anak mereka. Dalam hal ini pendidikan Islam telah berperan sebagai alat bagi kaum perempuan Minangkabau untuk mengkonfrontasikan pesan-pesan gender Islam dalam adat yang berbeda dan berupaya menegosiasikan antara keduanya.
F. PENUTUP
Rahmah el Yunusiyah adalah sosok pembaharu dalam pendidikan Islam bagi kaum perempuan di Minangkabau. Ia dilahirkan pada tanggal 29 Desember 1900 M di kota Padang Panjang. Pada usianya yang ke 23 tahun Rahmah el-Yunusiyah telah mendirikan lembaga pendidikan Khusus bagi kaum perempuan, yaitu Diniyah School Putri (1923 M.) dalam rangka meningkatkan tingkat pendidikan kaum perempuan Minang pada masa itu. Dengan masa pendidikan yang tidak sistematik dan relatif sangat pendek, Rahmah el-Yunusiyah tidak pernah memasuki suatu lembaga pendidikan secara tetap, baik sekolah gubernemen maupun pendidikan elementer tradisional, surau. Jika kemudian menjadi tokoh pembaharu pendidikan Islam bagi perempuan di Minangkabau, tidak lain berkat usaha dan kerja kerasnya dalam mendalami suatu ilmu. Selain tekun membaca, ia pun memiliki wawasan baca yang cukup luas. Rahmah el-Yunusiyah telah menciptakan pendidikan modernis menurut modelnya sendiri, yang disesuaikan dengan kebutuhan kaum perempuan mencakup pendidikan formal umum dan agama, latihan berbagai keterampilan yang produktif, dan pendidikan akhlak yang secara eksplisit didasarkan pada agama Islam dan secara implisit kepada adat.
Kiprah dan pemikiran Rahmah el-Yunusiyah dalam pembaharuan pendidikan Islam di Minangkabau bisa dilihat dengan adanya pendirian Diniyah School Putri (1923). Sebagai penunjang perguruan Diniyah School Putri Rahmah el-Yunusiyah juga mendirikan beberapa sekolah perempuan lainnya, yaitu : Menyesal School (1925), Yunior Institut Putri (1938), Islamitisch Hollandse school (1940), Kulliyatul Mu’allimin El-Islamiyah (1940), kemudian di tahun 1947 ia mendirikan Sekolah Diniyah Rendah Putri dan Sekolah Diniyah Menengah Pertama Putri. Kemudian tahun 1964 Rahmah juga mendirikan Akademi Diniyah Putri.
Usaha-usaha yang dijalankan Rahmah el-Yunusiyah membuka dan mendirikan berbagai macam sekolah tersebut telah menempatkannya sebagai salah satu ulama wanita yang berpengaruh saat itu, khususnya di Padang Panjang dan Minangkabau pada umumnya, sehingga pantas dijuluki sebagai pelopor pendidikan perempuan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik.
1985 Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
_________
1988 Sekolah dan Politik Gerakan Kaum Muda di Sumatera Barat (1927-1933). Padang: Unand.
_________
1998 Jalan Baru Islam Memetakkan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Bandung: Mizan.
Daya, Burhanuddin.
1995 Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Edward, dkk.
1981 Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre.
Hamka.
1976 Sejarah Umat Islam, Jilid IV. Jakarta: Bulan Bintang.
__________
1982 Ayahku Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dari Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda.
__________
1985 Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hasbullah.
1999 Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hurgronje, C. Snouck.
1992 Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Terjemahan Sudarso Soekarno. Jakarta: INIS.
Mansoer, M.D., dkk.
1970 Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara.
Martamin, Mardjani.
1981 Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
__________ .
1977 Sejarah kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat. Jakarta: P&K.
Martinilis.
1995 Skripsi Rahmah El Yunusiyah Tokoh Perjuangan dan Politik di Sumatera Barat, Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: t.p.
Munawaroh, Junaidatul.
2000 Rahmah El Yunusiyah Pelopor Pendidikan Perempuan, dalam Ulama perempuan Indonesia; editor Jajat Burhanuddin, (Jakarta : PT.Gramedia Pustaka utama bekerjasama dengan PPIM IAIN Jakarta.
Nasution, Harun.
1978 Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II. Jakarta: UI Press.
__________
1995 Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang.
Nata, Abuddin, dkk.
2001 Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga – Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Noer, Deliar.
1996 Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942. Jakarta: LP3ES.
Nuraida.
1990 Rahmah El-Yunusiyah Dalam Perspektif Sejarah Perjuangan Wanita di Indonesia. Skripsi Sarjana Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta: t.p.
Rasyad, Aminuddin.
1978 Rahmah El Yunusiyah, Kartini dari Perguruan Islam, dalam “Manusia dalam Kemelut Sejarah.” Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.
__________.
1982 Perguruan Diniyah Puteri Padang Panjang 1923-1978: Suatu Studi Mengenai Perkembangan Sistem Pendidikan Agama. Disertasi PPS IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: t.p.
__________
1991 Hj Rahmah El Yunusiyah dan Zainuddin Labay El Yunusy Dua Bersaudara Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Pengurus Perguruan Diniyah Puteri Padang Panjang Perwakilan Jakarta.
Shaleh, Isnaniah.
1978 Peringatan 55 tahun Diniyah Putri Padang Panjang, (Jakarta : Ghalia Indonesia.
__________
1988 Riwayat Hidup Dua Tokoh Pendidikan Miinangkabau Zainudin Labay dan Rahmah El Yunusyyah. Padang: PD. Grafika.
Steen Brink, Karel, A.
1994 Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Waktu Moderen. Jakarta: LP3ES
Sumardi, Mulyanto.
1978 Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia (1945-1975). Jakarta: Darma Bakti.
Suminto, Aqib.
1985 Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.
Suryanegara, Ahmad Mansur.
1995 Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Wijaya, Cece.
1992 Upaya Pembaharuan Dalam Pendidikan dan Pengajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Yunus, Mahmud.
1971 Keringkasan Sejarah Islam di Minangkaba. Jakarta: Al-Hidayah.
__________
1995 Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Mutiara Sumber Widya.
Zuhairini, dkk.
1986 Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Departemen Agama.
Kelompok Majalah dan Ensiklopedi
Ensiklopedi Islam di Indonesia, 1993, Jilid 2. Jakarta: Departemen Agama.
Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam, Vol I, No.1 Juli-Des 2000. Yogyakarta: Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga.
Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Ulumul Qur’an, No. 4, vol III, 1992.
Jurnal Perempuan Edisi 23 th. 2002. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Panji Masyarakat no.637. 21-28 Feb 1990.
/source:
http://uin-suka.info/ejurnal/
1 komentar:
terima kasih sudah mampir
Posting Komentar