Oleh : Taruddin
A. Pendahuluan
Sikap zuhud yang diterapkan dalam kehidupan dunia adalah cikal bakal tumbuhnya tasawuf, sedangkan zuhud itu sendiri adalah bersumber dari ajaran Islam. Pemahaman dan pengamalan zuhud yang berkembang sejak abad pertama hijriah, benar- benar berdasarkan ajaran Islam, baik yang bersumber dari al-quran, sunnah maupun kehidupan sahabat nabi. Sikap hidup dan keberagamaan yang mereka anut adalah berkisar pada usaha yang sungguh- sungguh untuk memperoleh kebahagian akhirat dengan memperbanyak ibadah serta menghindarkan diri dari kehidupan dunia (zuhud dunia).
Dari konsep zuhud lahirlah tasawuf, salah satu di antaranya adalah tasawuf sunni. Salah satu tujuan terpenting dari ajaran tasawuf adalah berada sedekat mungkin dengan Allah. Makna dekat dengan Allah akan melahirkan tiga ajaran dasar sufisme yaitu; al-Hubb al-Ilahi (kecintaan dan kerinduan kepada Allah), al-wahdat as-syuhud (menyatu dengan Alla), al-mukasyafah (penangkapan langsung terhadap Allah, tanpa ada penghalang).
Al-Hubb al-Ilahi (kecintaan dan kerinduan kepada Allah) adalah salah satu ajaran yang dikembangkan oleh Rabiah, sedangkan al-mukasyafah digambarkan oleh Zunnun Al-Misri bahwa ia berada bersama Allah, karena keberadaan itulah ia mengenal Allah secara hakiki (al-ma’rifah). Untuk lebih rincinya mengenal kedua sufi terkenal ini beserta ajarannya, perhatikan pembahsan berikut.
B. Rabi’ah al-Adawiyah (95 H/ 713 M-185 H/ 801 M)[1]
1. Riwayat hidup Rabi,ah al-Adawiyah
Nama lengkapnya ialah Rabiah al-Adawiyah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah, juga digelari Ummu al-Khair. Dia disebut Rabi’ah karena ia putri keempat dari Ismail. Sedangkan Adawiyah adalah karena dia berasal dari bani Adawiyah. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H dan meninggal pada tahun 185 H dan dimakamkan di Bashrah. Diceritakan bahwa sejak masa kanak- kanak ia telah apal al-Quran dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana[2]. Ajarannya dikenal dengan istilah teori hubb (cinta) kepada Allah SWT ada yang menyebutnya “al-hubb”. Sumber lain mengatakan bahwa, Rabiah al- Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak[3].
Zahidah(Rabi’ah al-Adawiyah) yang berumur lebih kurang 90 tahun hitungan tahun hijriyah dan 88 tahun menurut hitungan tahun masehi. Menurut Hamka, Rabi’ah al- Adawiyah meninggal dunia dalam tahun 185/796 M[4].Bila Hamka ini yang kita ikuti dengan hitungan tahun masehinya, maka Rabi’ah al- Adawiyah berusia lebih kurang 83 tahun, namun dari hitungan tahun Hijriah tidak ada perbedaan dengan sumber sebelumnya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa Hamka barang kali salah tulis angka tahun masehinya. Tetapi yang jelas, berapa pun umurnya tidaklah terlalu penting dibahas di sini, karena yang sangat diperlukan adalah pemikirannya.
Kedua orang tuanya meninggal sewaktu dia masih kecil. Menurut pendapat lain, Rabi’ah al-Adawiyah pernah dijual sebagai seorang hamba (budak)/ penyanyi seharga 6 dirham yang kemudian dibebaskan dan memperoleh kemerdekaannya kembali[5]. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadah, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya, ia tidak mau meminta hal- hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul- betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan[6].Di dalam Tazkirah al- Auliya, disebukan bahwa pada suatu malam ketika Rabi’ah al- Adawiyah sedang asyik beribadah, majikannya melihat lantera tanpa rantai berada di atas kepalanya, sementara cahaya menyinari segenap ruangan rumah. Menyaksikan hal tersebut, majikannya merasa takut, ketika hari telah terang ia memanggil Rabi’ah al-Adawiyah lalu membebaskannya. Setelah itu rabia’ah meninggalkan rumah tuanya tersebut dan menuju kesuatu
Juga riwayat yang menceritakan bahwa ia juga selalu menolak lamaran- lamaran pria shaleh dengan mengatakan, “ akad nikah bagi kepemilikan kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku halitu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya, Akad nikah mesti diminta dari-Nya bukan dariku[8].Rabi’ah al-Adabiyah tenggelam dalam cintanya kepada Tuhan. Ketika sakit ia berkata kepada tamu yang menanyakan sakitnya, maka dia mengatakan bahwa “Demi Allah aku tidak merasa sakit, lantaran surga telah ditampakan bagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati, dan aku merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dia lah yang dapat membuatku bahagia[9]. Penjelasan tentang pribadi Rabi’ah al- Adawiyah, serta berbagai ucapannya yang lahir dilatarbelakangi oleh rasa cintanya kepada Allah yang melahirkan ajaranya yaitu al-hubb al-ilahi dan apa jalan yang ditempuhnya untuk mewujudkan ajarannya tersebut, jawabannya ada dalam pembahasan berikut.
2. Konsep al-Hubb al-Ilahi menurut Rabi’ah al- Adawiyah
Menurutnya, al-hubb al-ilahi merupakan cetusan dari perasaan jiwa yang rindu dan pasrah terhadap Allah. Seluruh ingatan dan perasaan tertuju kepada-Nya. Hal ini tergambar dalam ungkapan prosanya berikut ini:
“Wahai Tuhanku!, tenggelamkanlah aku dalam mencintai-Mu,sehingga tidak membimbangkan aku dari pada-Mu. Ya Tuhan, bintang di Langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu- pintu istana telah dikunci dan tiap pencinta telah menyendiri dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu. Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera datang, aku gelisah apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, apakah engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi Kemahakuasaan-Mu, inilah yang aku lakukan sehingga engkau beri hayat (hidup). Sekiranya engkau usir aku dari hadapan-Mu aku tidak akan pergi, karena cinta pada-Mu telah memenuhi hatiku”[10].
Cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah telah terpatri dengan kuat, tertulis dengan tinta emas, tergantung direlung- relung hati, dan bahkan semua pintu- pintu cinta untuk selain Allah telah tertutup rapat. Hal ini juga tergambar dari syairnya berikut ini :
“Buah hatiku, hanya Engkaulah yang aku kasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu. Engkau harapanku, kabahagian dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau[11].
Cinta rabi’ah kepada tuhannya adalah cinta yang suci, murni, dan sempurna. Perasaan cinta itu telah tertanam di hatinya. Hidupnya tenggelam dalam zikir, beribadah dan membaca al-Quran. Keadaan ini selalu disenandungkan dalam syair yang dijiwai oleh ketinggian imannya. Hal ini juga tercermin dari syainya berikut ini:
“aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku ialah keadaanku senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau ku lihat. Baik untuk ini dan untuk itu pujian bukanlah bagiku. Dan bagi-Mu lah pujian untuk semuanya”[12].
Penulis beranggapan bahwa, Rabi’ah al-Adawiyah telah melihat Tuhannya dalam batasan “penghayalan” karena cintanya yang terlalu larut. Tidak mungkin dalam bayangan akal pikiran, karena bagaimana pun pandangan zahir tetap terbatas sebatas alam nyata. Tetapi pandangan batin yang dilakukan oleh cehaya nurani saat berada di alam bawah sadar yang aktif secara sempurna itulah pandangan yang sempurna (ma’rifat). Hai inilah yang seakan- akan telah berpandangan dengan Tuhan, sebagaimana yang telah dirasakan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Tetapi bagaimanapun, perasaan Rabiah al- Adawiyah melihat Tuhannya tidak akan dapat dirasakan oleh orang lain, karena setiap orang kekuatan iman dan makrifatnya berbeda- beda. Iman dan ma’rifat Rabiah al- Adawiyah berada di atas segalanya. Sehingga kalau dalam syairnya dia mengungkapkan seperti hal di atas.
Namun bila dipahami apa yang dikemukakan oleh Imam Sya’rani sebagaimana yang dikutip oleh Hamka mengatakan bahwa, suatu ketika orang menyebut- menyebut tentang azab neraka di hadapan Rabi’ah al-Adawiyah, maka pingsanlah beliau lantaran mendengar hal itu, pingsan dalam menyebut- menyebut istigfar, memohon ampunan Tuhan. Setelah beliau siuman dan sadar dari pingsannya, beliau berkata :”saya mesti meminta ampun lagi dari pada cara saya minta ampun yang pertama”. Kata Sya’rani, sajadah tempat beliau sujud senantiasa basah oleh air mata[13].
Bila Rabi’ah minta ampun kepada Allah karena takut kepada azab neraka maka jelaslah bahwa tujuan utama bagi Rabi’ah di sini bukanlah Allah tetapi takut kepada neraka. Bila ketakutan kepada neraka yang menyebabkan dia berurai air mata, maka cintanya kepada Allah hanya lah sebatas kamuflase (semu). Karena cinta kepada Allah telah dikalahkan oleh ketakutan kepada neraka. Tetapi kalau Allah yang menjadi tujuan utamanya, itulah cinta yang murni tersebut. Tetapi penulis yakin barangkali maksudnya bukanlah seperti ini, melainkan lebih dari itu. Tetapi bila dilihat dari dialognya dengan al-Tsauri, maka cinta Rabi’ah kepada Allah bukanlah karena takut azab neraka dan juga bukan karena nikmatnya surga.
Pada suatu ketika, Rabi’ah al-Adawiyah pernah ditanya oleh al- Tsauri, apakah hakekat iman engkau ?. Rabiah al- Adawiyah menjawab, aku menyembah-Nya bukan karena takut siksaan neraka-Nya, dan bukan pula karena ingin masuk surga-Nya, karena dengan demikian jadilah aku bagaikan menerima upah yang jahat, tetapi aku menyembah-Nya semata- mata cinta dan rindu kepada-Nya[14]. Lebih lanjut, hal ini tergambar dalam syair Rabi’ah al-Adawiyah yang berbunyi :
“Tuhanku, jika kupuji engkau karena takut neraka-Mu, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika ku puji engkau karena mengharap surga-Mu jauhkanlah aku dari padanya. Tetapi bila ku puji Engkau karena semata- mata karena Engkau, maka jangan lah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dari ku”.
Dari syair Rabi’ah al-Adawiyah di atas, dapatlah dipahami bahwa yang menjadi harapan dan dambaan Rabi’ah adalah memandang “wajah Allah” Yang Maha Agung dan Mulia serta perasaan bahagi berada di sisi-Nya. Bukanlah karena takut kepada azab neraka dan harap kepada nikmat surga, tetapi lebih dari itu. Rabi’ah membayangkan andaikan surga dapat dibakar dengan api neraka, lalu api neraka dapat disiram dengan air, maka ia akan melakukannya, sehingga tidak ada lagi surga dan neraka. Dengan demikian dapatlah diketahui siapa hamba Allah yang hakiki dalam pengabdiannya. Pengabdiannya tidaklah didasarkan kepada mengharap surga dan takut akan siksa neraka.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsep al-hubb berdasarkan pengalaman Rabi’ah al-Adawiyah dalam ritual tasawufnya adalah dengan menjadikan Allah sebagai segala- galanya, tidak ada yang melebihi dari-Nya sesuatu pun makhluk yang telah Ia ciptakan. Semua perhatian dan pikiran selalu tercurah kepada-Nya sebagai bukti cinta- kasih hanya semata- mata untuk-Nya. Bahkan pengabdian hidup yang diwujudkan dalam bentuk ibadah bukanlah untuk mengharapkan balasan apa- apa dari-Nya, baik berupa surga maupun takut karena siksa neraka. Namun pengabdian itu semata- mata karena Allah kekasih yang paling dicintainya. Semuanya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, bahkan hingga mencapai persatuan dengan-Nya.
Berdasarkan pengalaman rohaniah yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah dalam menggapai al-hubb al-Ilahi, terdapat beberapa cara sebagai jembatan yang dapat menghantarkan seseorang menuju tingkat tersebut, yaitu:
1). Bangun di waktu malam
Rabi’ah telah menepati janjinya kepada Allah, ia selalu dalam keadaan beribadah kepada Allah sampai meninggal dunia. Bahkan ia selalu melaksanakan shalat tahajjud di malam hari. Dengan amal ibadahnya, wajah Rabi’ah al-adawaiyah berseri, dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah akan mendapatkan limpahan cahaya dari Ilahi. Pada hakikatnya cahaya wajah orang yang taat beribadah adalah cahaya Allah yang wujud padanya sehingga meliputi langit dan bumi serta segala isinya.
2). Perawan selama hidup
Rabia’ah al-Adawiyah, telah memilih jalan hidup dengan cara zuhud dan beribadah kepada Allah. Selama hidup ia tidak pernah menikah, walaupun ia seorang wanita yang cantik dan menarik. Juga seorang yang cerdas dan luas ilmunya. Rabi’ah sadar kalau perkawinan adalah perintah agama. Pada suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Rabi’ah, mengapa Anda tidak mau menikah ?. Rabi’ah menjawab; ada tiga keprihatinanku. Bila ada orang yang bisa menghilangkan keprihatinanku tersebut, maka aku akan menikah dengannya. Kemudian ia mengemukakan ketiga masalah tersebut; pertama, apa bila aku meninggal dunia, maka aku akan menghadap Tuhanku, apakah dalam keaadan beriman atau suci ?, kedua, apakah aku akan menerima kitab amalanku dengan tangan kanan ku ?. ketiga, bila datang hari kiamat, dan orang- orang dari kelompok kanan telah masuk surga dan kelompok kiri masuk neraka. Maka dalam kelompok manakah aku ?. orang itu menjawab : “aku tidak tahu apa- apa tentang pertanyaanmu itu, masalah itu hanya diketahui oleh Allah SWT. Rabi’ah berkata: jika demikian halnya maka aku akan tetap dalam keadaan cemas dan prihatin. Bagaimana aku akan mampu berumah tangga[16]. Alasan Rabi,ah tersebut menggambarkan bahwa memang tidak ada niat baginya untuk membagi cinta kepada Allah dengan makhluk ciptaan-Nya.
3). Meningkatkan kesucian jiwa
Rabi’ah al-Adawiyah berhasil mencapai kesucian jiwa dengan cara mengumpulkan ilmu pengetahuan, pengamblengan jiwa dan watak. Penerapan sikap zuhud dalam kehidupan dunia telah menyebabkan kemurnian cintanya kepada Allah semakin subur. Bukti zuhudnya, dapat dilihat dari suatu riwayat yang menceritakan bahwa suatu hari pencuri masuk ke rumah Rabia’ah, tetapi pencuri itu tidak mendapatkan apa- apa di rumahnya kecuali sebuah kendi. Ketika pencuri itu mau keluar, Rabi’ah menegurnya: “jika engkau seorang yang cerdas, maka engkau jangan ke luar dengan tangan kosong”. Pencuri itu menjawab: “aku tidak menemukan apa- apa”. Rabiah berkata: “sayang sekali berwuduklah dengan air kendi ini, lalu masuklah ke kamar ini dan lakukan lah shalat dua rakaat, maka engkau akan keluar membawa sesuatu. Pencuru itu melakukan apa yang diperintahkan oleh Rabi’ah al- Adawiyah. Ketika ia sedang shalat, rabiah menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdoa: ya Allah, orang ini telah dating ke rumahku, tetapi ia tidak mendapatkan apa- apa dirumahku, karena itu aku telah menahannya di depan pintumu. Oleh karena itu janganlah Engkau biarkan dia pergi dengan tangan hampa tanpa mendapatkan karunia dan pahala dari-Mu[17].
Terlepas dari benar atau salahnya riwayat tersebut, disana menggambarkan bahwa sangat sederhananya kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah di atas dunia. Selanjutnya juga tergambar kesabaran yang sangat agung dari dirinya, walaupun datangnya seseorang ke rumahnya untuk membinasakan diri rabiah sendiri namun dibalasnya dengan doa dan rasa kasih saying kepada sang pencuri tersebut. Dari kebersihan hati dan jiwanya sangat tepatlah kalau yang menjadi tujuan hidupnya adalah keredhaan Allah semata.
C. Zunnun al-Misri (180-246 H)[18]
1. Riwayat hidup Zunnun al-Misri
Nama lengkapnya ialah Abu al- Faidl Tsauban bin Ibrahim Dzu al-Nun al-Misri al-Akhmini Qibthy[19].Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir[20].ada juga pendapat yang mengatakan bahwa dia berasal Naubah suatu negeri yang terletak anatara
Dzu al-Misri, memandang bahwa ulama- ulama Hadits dan Fiqh memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai suatu hal yang menarik keduniaan di samping sebagai obor bagi agama. Pandangan hidupnya yang cukup sensitive barangkali menyebabkan para fuqaha mulai membenci dan menantangnya dan sekaligus menuduhnya sebagai seorang zindiq. Tidak hanya sampai di situ, bahkan para fuqaha mengadukannya kepada ulama Mesir yang pada waktu itu dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Hakam penganut mazhab Maliki. Dzu al-Nun Misri dipanggil dan ditanyai oleh pimpinan ulama itu. Dari berbagai jawaban dan uraian yang diberikannya, maka pimpinan ulama itu menuduhnya sebagai seorang zindiq. Setelah itu Dzu al-Nun merasa bahwa dirinya tidak lagi disenangi masyarakat daerahnya. Untuk itu ia memutuskan untuk sementara waktu berkelana ketempat lain. Setelah merantau beberapa lama ia kembali pulang ke Mesir dan penguasa waktu itu ialah Ibnu Abi Laits, berpaham mazhab Hanafi sebagai pengganti Muhammad bin Abdul Hakam yang meninggal.
Akan tetapi di
Jasa Dzu al-Nun al-Misri yang paling besar dan menonjol dalam dunia tasawuf adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang disebut al-maqomat. Dia banyak memberikaan petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan pandangan sufi. Karenanya, ia juga sering disebut pemuncaknya kaum sufi pada abad ketiga hijriyah. Adapun pendapat- pendapatnya disekitar metode mendekatkan diri kepada Allah atau al-maqomat dan al-ahwal. Di samping itu, al-Mishri adalah salah seorang pelopor doktrin al-ma’rifah. Dalam hal ini dia membeda antara pengetahuan dan keyakinan. Menurutnya pengetahuan adalah hasil pengamatan inderawi, yakni apa yang dapat diterima melalui panca indra. Sedangkan keyakinan adalah hasil dari apa yang dipikirkan dan atau diperoleh melalui intuisi. Dalam hubungan ini, ia menjelaskan, bahwa pengetahuan itu ada tiga kualitas, yaitu:[26]
a) pengetahuan orang yang beriman tentang Allah pada umumnya, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pengakuan atau syahadat
b) pengetahuan tentang keesaan Tuhan melalui bukti- bukti dan pendemontrasian ilmiah dan hal ini merupakan milik orang- orang yang bijak, pintar dan terpelajar, para mutakallim dan filosof
c). pengetahuan tentang sifat- sifat Yang Maha Esa, dan ini merupakan milik orang-orang yang saleh (wali Allah) yang dapat mengenal wajah Allah dengan mata hatinya, sehingga Allah menampakan diri kepada mereka dengan cara yang ia tidak berikan kepada siapapun di dunia kecuali kepada aulia.
Pengetahuan ini yang disebut ma’rifat yang diurai rinci oleh Dzu al-Nun al-Mishri dalam dunia tasawuf, sesudah dicetuskan pertama kali oleh Ma’ruf al- Kharki[27].
2. Konsep al-ma’rifah menurut Zunnun al-Misri
Ma’rifat, menurut al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Hanya terdapat pada para sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati nurani mereka. Mahrifat dimasukan Tuhan ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya penuh dengan cahaya. Ketika ia ditanya bagaimana ia mencapai ma’rifat tentang Tuhan, ia menjawab :
“Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak akan tahu Tuhan”
ungkapan tersebut menunjukan bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifat bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut dicapai setelah seorang sufi lebih dahulu menunjukan kerajinan, kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah dalam beramal secara lahiriyah sebagai pengabdian yang dikerjakan tubuh untuk beribadat[28].ma’rifat juga dimaksudkan dengan komunikasi cahaya dari Tuhan ke dalam hati nurani seseorang. Orang- orang yang sudah mencapai ma’rifat tidak lagi berada dalam diri mereka, tetapi mereka berada dalam dzat Tuhan. Mereka dapat melihat tanpa pengetahuan, tanpa mata, tanpa penerangan, tanpa
[1] Ahmad Qodri Abdillah Azizy,dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Akar Dan Awal, (
[2] A.Rivay siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (
[3]A.J. Alberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf, diterjemahkan oleh Bambang Herawan, dari judul asli : Sufism; An Account of the Mystics of Islam,
[4] Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984),cet. ke- 11,
[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (
0 komentar:
Posting Komentar