Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

27 Juni 2008

Hermeneutika ; Cara Baru Menafsirkan Al-Quran

Oleh: Riwayat

Menarik untuk didiskusikan, laporan Singgalang yang merangkum kuliah umum Rektor UIN(Universitas Islam Negeri Yogyakarta) Prof. Dr. Amin Abdullah, “Hermeneutika dalam Pemikiran Islam” di kampus Lubuk Lintah IAIN Imam Bonjol Padang.(Singgalang,15/05/2007). Amin Abdullah mengatakan bahwa majunya peradaban Islam pada masa lalu disebabkan oleh banyaknya intelektual yang melakukan penelitian. Seperti kutipan berikut ini: ” dalam kontek sejarah, majunya perdaban Islam pada masa lalu salah satunya disebabkan pesatnya kajian dan penelitian dalam berbagai konsep Islam oleh pemikir Islam.

Dari kutipan di atas jelaslah bahwa salah satu unsur yang menyebabkan dunia Islam masa lalu jaya dan maju peradabannya adalah banyaknya para inteletual Islam yang melakukan penelitian dalam berbagai bidang. Amin Abdullah memberi contoh nama-nama intelektual Islam yang melakukan penelitian. Seperti Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina, mereka adalah intelektual Islam yang multi talenta, selain mereka menguasai bidang fiqih, mereka juga ahli dibidang filsafat, kedokteran. Memang kalau dibandingkan dengan intelektual sekarang mereka lebih hebat, sebab mereka dapat menguasai berbagai spesifikasi keahlian, tetapi intelektual sekarang mungkin hanya ahli dibidanag tertentu saja, umpamanya ahli di bidang tafsir, belum tentu ahli di bidang ilmu falak dan sebaliknya, namun begitu fakta ini tidaklah membuat kita surut ke belakang dan patah semangat untuk terus mengembangkan dan mendalami berbagai bidang ilmu.

Intelektual Islam mandek dan enggan melakukan penelitian, di sisi lain kalaupun ada yang berusaha membuat terobosan baru dalam bidang pemikiran dianggap sesat dan tidak sesuai dengan kaidah ulama terdahulu (salaf). Tidak heran, ketika sebuah pemikiran dan penafsiran terhadap Al-Quran muncul kepermukaan, berbagai komentar mulai datang, berbagai sanggahan datang bertubi-tubi, ironisnya mereka mengklaim diri paling benar dan yang lain salah, penafsirannya paling benar dan penafsiran orang lain salah. Menurut Amin Abdullah terjadinya penyanggahan dan penolakan terhadap pemikiran dan penerapan metode baru yang dilakukan oleh sebagian intelektual Islam adalah akibat keterpakuan intelektual Islam tersebut kepada konsep atau meyakini kemutlakan dan absolutisme teks-teks ajaran Islam.

Mereka menganggap penafsiran mereka paling absah, padahal kebenaran pada manusia bersifat sementara, dan masih dapat dipertanyakan. Hal ini memberi peluang kepada setiap orang untuk menemukan kebenaran-kebenaran tersebut.

Kebenaran Al-Quran adalah kebenaran mutlak dan universal, sebuah kebenaran Allah Tuhan semesta alam, dalam bentuk wahyu dan diturunkan kepada para Nabi utusan-Nya, menggunakan bahasa Arab yang dapat dimengerti oleh manusia. Ini menunjukkan bahwa wahyu Allah yang telah diturunkan kepada para Nabi merupakan bahasa Allah yang mampu dimengerti oleh manusia, artinya manusia dapat memahami wahyu Allah dalam kontek dan sudut pandang sebagai manusia. Karena pada dasarnya wahyu diturunkan kepada manusia untuk kemaslahatan manusia, sehingga wahyu Allah akan mampu dipahami jika berbahasa manusia. Dalam hal ini tentunya Al-Quran dapat dipahami manusia sesuai tingkat cara pandang manusia itu sendiri. Untuk mengetahui dan memahami sudah tentu membutuhkan aktivitas membaca dan memahaminya. Dan cara membaca dan memahami adalah dengan metode tafsir. Dan tafsir merupakan prodak dari intelektual dan logika manusia, dalam hal ini dapat dipahami bahwa berbagai tafsir hari ini yang telah kita baca adalah hasil dari penafsiran manusia logika manusia, sebagai hasil karya logika manusia tentunya sebuah penfasiran tidak dapat diyakini kemutlakan kebenarannya. Bisa jadi penafsiran pada waktu itu dilakukan berdasarkan cara pandang dan fenomena saat itu. Dengan demikian bisa jadi penafsiran waktu itu sudah usang untuk diterapkan pada saat ini. Meskipun para penafsir tersebut mempunyai berbagai referensi dan keahlian, namun dapatkan mereka memprediksi dan mempersiapkan berbagai problema saat ini? Suatu yang sangat mustahil.

Meskipun demikian, penafsiran memang perlu melihat kontek asbabunnu zul, sebab turunnya ayat pada saat itu, artinya ayat turun berdasarkan situasi dan pengalaman-pengalaman manusia pada saat itu. Tetapi lagi-lagi kita juga tidak dapat menolak penafsiran yang datang kemudian, seperti metode tafsir hermeneutika. Kenapa kita harus mencoba memahami Al-Quran dengan metode hermeneutika karena tafsir-tafsir tradisional banyak yang mengawang dan membahas sesuatu yang masih jauh dari dunia nyata atau praktis manusia.

Menurut Hasan Hanafi hermeneutika tidak hanya berupa ilmu atau teori interpretasi dalam memahamai teks, tetapi mengandung ilmu yang memuat pengertian ilmu yang menerangkan wahyu Tuhan dari tingkat kata ke dunia, menerangkan berbagai proses wahyu dari huruf ke realitas atau dari logos ke praksis. Ilmu ini juga membahas bagaimana transformasi wahyu dari pikiran Tuhan menjadi kehidupan nyata. Hasan Hanafi mengatakan bahwa proses pemahaman adalah sebuah proses terakhir/ketiga dari proses hermeneutika, yang pertama adalah proses kritik sejarah yang tujuannya adalah untuk menjamin otentitas Kitab Suci menurut sejarah, hal ini akan mungkin terjadi jika kita menganggap bahwa suatu teks otentik berdasarkan sejarah. Sebaliknya Hasan Hanafi mengatakan bahwa pemahaman yang tidak otentik terhadap teks akan menimbulkan kesalahan. Intinya pada tahapan ini heremeneutika lebih mengarah kepada pembahasan bahasa dan situasi sejarah yang berkaitan dengan asal usul kitab suci. Pada tahap berikutnya, adalah proses realisasi makan teks dalam kehidupan nyata. Dan hal ini merupakan tujuan akhir dari wahyu Tuhan.

Hermeneutika adalah ilmu yang menentukan hubungan antara kesadaran dengan obyeknya, yaitu kitab suci. Yang mempunyai tiga tahap kesadaran yaitu kesadaran yang bertujuan memastikan otentisitas teks dan tingkat keabsahannya, kedua kesadaran eiditik berperan dalam menjelaskan makna teks, yang pada akhirnya menjadi rasional. Ketiga adalah kesadaran praktis, yang bertujuan untuk menjadikan makna teks sebagai dasar teori dalam pengalaman serta mengarahkan wahyu Tuhan kepada tujuannya yang akhir dalam kehidupan yang nyata, dan tatanan dunia yang ideal.

Untuk memahami wahyu tuhan tentu perlu pembacaan teks, pembacaan dimaksud adalah memahami terhadap teks sebagai obyek. Dalam memahami sudah tentu akan terjadi hubungan antara obyek dan subyek, yaitu antara yang dengan yang dipahami. Dalam memahami teks akan terjadi penafsiran dan penakwilan. Hal ini terjadi apabila pemahaman terhadap teks secara langsung menemui jalan buntu maka yang perlu dilakukan menurut Hasan Hanafi adalah penafsiran dengan berlandaskan logika bahasa, konteks dan dan semangat jaman. Akan tetapi apabila proses tersebut menemui kebuntuan maka perlu penakwilan sebagai proses untuk melahirkan kata dari makna hakiki menuju makna majazi.

Teks sebagai obyek pemahaman merupakan kodifikasi energi jaman dari pengalaman pribadi dan kolektif dalam berbagai situasi tertentu. Teks dapat juga dikatakan sebagai perubahan kehendak dari oral menuju tulis dengan alasan untuk mendokumentasikan situasi-situasi dan kecepatan mengkodifikasi untuk transformasi dari diversitas menuju kesatuan, dari perbedaan menuju kesepakatan.

Bagaimana dengan wahyu apakah ia bagian dari teks? Jawabnya adalah ia, karena pada dasarnya wahyu merupakan perkataaan Allah yang dapat dimengerti oleh manusia sekaligus memudahkan pemahaman dalam tataran manusia, maka di utuslah Nabi dan Rasul. Bukti wahyu yang sekarang adalah teks karena ia telah berubah dari kehendak oral menuju tulis. Dalam hal ini heremeneutika sebagai sebuah ilmu terletak antara dua posisi yaitu penafsiran praktis dan penafsiran filosofis (hermeneutika filosofis). Penafsiran praktis adalah berusaha menganalisa teks dari aspek filologis, tidak membahas masalah yang prinsipil, sebab akan mengakibatkan pemahaman yang mengambang, rumit dan sukar dijadikan pedoman praktis. Sedangkan hermeneutika filosofis adalah kelanjutan ilmu humaniora, dan lebih mengutamakan aspek batiniah.

Dengan demikian hermeneutika mungkin akan menjadi satu jawaban berbagai pergumulan dan perdebatan di kalangan penafsir modern, hal itu terjadi tidak lebih karena ada anggapan bahwa pendekatan hermeneutika dalam tafsir adalah sesuatu yang salah dan menyesatkan, yang akan mengarahkan seseorang kepada sekulerisme, padahal itu semua adalah sebuah anggapan yang keliru. Bahkan sebagian intelektual Islam ada yang menentang pendekatan hermeneutika dan sebagian yang lain mendukung. Pastinya arus perubahan pandangan yang menganggap metode tafsir tradisional mutlak benar dan satu-satunya metode memahami kitab suci paling mapan perlu dipertanyakan kembali, sebab disinyalir tafsir-tafsir ulama terdahulu banyak yang mengawang di udara, dalam arti belum mampu memecahkan berbagai problem masyarakat kontemporer. Di sisi lain, banyak tafsir yang membahas begitu panjang ayat-ayat Allah, tetapi tidak ada yang memberi tuntutan praktis terhadap permasalahan umat.

Kitab-kitab tafsir tradisional banyak yang melangit dalam arti masih sulit dijadikan sebagai pemecahan masalah dan rujukan untuk mengeluarkan masyarakat dari problemnya, sebagai contoh ketika terjadi perang, kelaparan, kemiskinan, pengangguran, penindasan, dan berbagai masalah social lainnya, kitab-kitab tafsir tradisional tidak mampu memberi pemecahan simple dan praktis, berpijak dari pemikiran di atas tentunya kita butuh penafsiran-penafsiran kitab Suci secara praktis, simple dan membumi dengan keadaan social dan problema masyarakat, sehingga berbagai persoalan masyarakat Islam dewasa ini dapat terselesaikan. Allahu A’lam


0 komentar:

Popular Posts