Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

27 Juni 2008

RADIKALISME DALAM BERAGAMA

Oleh: Riwayat

(Guru PAI SMPN 21 Padang)

Radikalisme keagamaan sering disebut dengan at-tatharuf ad-diny. At-tatharuf secara bahasa mengandung arti berdiri di ujung, atau jauh dari pertengahan. Dapat juga diartikan berlebihan dalam berbuat sesuatu. Pada awalnya kata at-tatharuf di artikan untuk hal hal yang bersifat konkrit kemudian dalam perkembangan bahasa makna at-tatharuf juga bermakna hal-hal yang bersifat abstrak.seperti berlebihan dalam berfikir, berbuat, beragama. Dengan demikian at-tatharuf ad-diny adalah segala perbuatan yang berlebihan dalam beragama. Kalau ditilik darai segi ajaran Islam, ternyata Islam lebih menyukai kehidupan, alur pemikiran moderat. Atau dalam istilah Al-Quran disebut dengan wasathiyah. Wasatiyah dalam beragama lebih disukai oleh di banding dengan sikap berlebih-lebihan. Sikap moderat dalam Islam didasarkan kepada firman Allah,” Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.(QS. Al-Baqarah:143).

Ayat ini mengandung pokok pemikiran bahwa umat Islam hendaknya menjadi penengah yang adil, menjadi saksi dengan adil, menjadi umat yang moderat, tidak terlalu keras, tidak terlalu lunak, tidak terlalu ke kanan Islam maupun ke kiri Islam. Dalam hadis dinayakan bahwa Rasulullah melarang sikap berlebihan dalam beragama, karena yang berlebihan dalam beragama akan hancur.” Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesunggguhnya orang-orang sebelum kamu hancur karena sikap berlebihan dalam beragama.(HR. Ahmad).

Meskipun dalam ayat ersebut dicontohkan umat terdahulu, tetapi untuk umat Islam sekarang hal itu tentu juga berlaku. Karena berlebihan dalam beragama akan menghancurkan diri mereka sendiri. Kemudian bagaimana dengan radikalisme dalam beragama di Indonesia. Gerakan radikal di Indonesia di pengaruhi oleh gerakan wahabi dan dan gerakan modernisme Muhammad Abduh. Gerakan Wahabi diilhami oleh pemikiran Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah sebagai pencetus ide gerakan salaf, kemudian dikuatkan dengan pemikiran Ahmad bin Hanbal. Kemudian pada kurun berikutnya Muhammad Abduh membidani Modernisme di Mesir pada abdad ke -19. Muhammad Abduh dikenal sebagai tokoh pembaharu di dunia Islam dan Mesir pada khususnya. Muhammad Abduh melakukan gerakan modernisme bukan radikalisme, tetapi dalam perkembangan berikutnya, tjuan modernisme dipersempit oleh murid-murid Muhammad Abduh, menurut Jajang Jahroni dan Jamhari murid-murid Abduh terjebak kepada semangat salafi yang sempit. Sehingga akhirnya muncul varian-varian baru yang bertolak belakang dengan ide modernisme Muhammad Abduh. Tidak heran jika ada pakar yang menyatakan bahwa Ali Abdurraziq adalah “Abduh kiri” dan Hasan Al-Banna “Abduh kanan.”

Ketika gerakan gerakan tersebut berkembang ke dunia Islam, dunia Islam pada waktu itu masih dalam cengkeraman penjajah. Umat Islam masih berjuang untuk menentukan nasib mereka dari tangan penjajah. Di sisi lain, umat Islam menghadapi kemiskinan kebodohan dan kegelapan peradaban. Hal ini terus berlangsung mulai akhir abad 19 sampai awal abad 20, kolonialisme, modernisme dan sekulerisme, serta dominasi Barat atas dunia Islam. Menghadapi perubahan yang begitu cepat umat Islam kewalahan, akhirnya umat Islam etrpuruk di ingir-pinggir peradaban dunia. Baik secara politik, ekonomi, mapun social. Ketidakmampuan mengadapi keadaan dan realitas tersebut umat Islam larut dalam keberagamaannya. Berpaling kepada agama merupakan sikap melarikan diri karena ketidakmampuan mengikuti perkembangan tersebut dan ketidakmampuan menghadapi dan melenyapkan kolonialisme, sekulerisme dan modernisme yang di bawa peradaban Barat.

Berbagai ketakutan dan kekhawatiran menyerang hati umat Islam. Keadaan ini memberikan semacam kesadaran beragama, dan mereka berusaha mencari legitimasi terhadap keberagamaan mereka, karena mereka beranggapan melawan peradaban yang rusak dan bertentangan dengan alur pemikiarn mereka adalah keharusan. Dengan lari kepada agama mereka merasa lebih nyaman, dan mereka juga mencoba mencari legitimasi terhadap ekapisme yang dilakukannya.

Menurut Jamhari dan Jajang Jahroni gerakan salafi radikal di Indonesia selain factor-faktor pemikiran pemikiran Abduh dan gerakan Wahabi juga di sebabkan oleh gagalnya Negara memberi pelayanan terhadap masyarakat. Factor lainnya adalah ada keinginan untuk mendirikan kekhalifahan, dipihak lain ada keinginan untuk menegakkan syariat Islam, diantara gerakan radikal Islam di Indonesia adalah Fron Pembela Islam (FPI), yang menginginkan formalisasi syariat islam, termasuk juga Laskar Jihad, meskipun demikian Laskar Jihad agak berbeda dengan Front Pembela Islam, Laskar Jihad lebih kea rah idiologi salaf. Kemudian ada juga Hizbuttahrir yang menginginkan seluruh dunia Islam berada dalam satu kekhalifahan yang gerakan politiknya bersifat trans nasional.

Kemudian muncul pertanyaan apa sebenarnya idiologi yang mereka usung, menurut John L. Esposito, paling tidak ada beberapa landasan idiologi yang di ususng oleh gerakan-gerakan radikal tersebut, pertama, gerakan radikal memandang bahwa Islam adalah agama yang menyeluruh dan bersifat totalitas. Dengan sifat totalitas dan komprehensif tersebut berarti Islam meliputi segala aspekkehidupan, seprti politik, budaya, ekonomi hokum dan kemasyarakatan. Kedua, mereka mengklaim bahwa idiologi Barat adalah sekuler dan materialisis sehingga perlu ditolak. Ketiga, gerakan ini cenderung kembali kepada ajaran Islam, dengan kembali kepada Islam segala perubahan social dapat dilakukan. Keempat, karena idiologi Barat ditolak mentah-mentah, maka semua produk hokum dari Barat juga harus ditolak. Kelima, gerakan ini menginginkan aturan yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan Sahabat serat masa-keemasan Islam, tetapi kelompk ini juga tidak menolak modernisme. Keenam, gerakan ini berkeyakinan bahwa islamsasi masyarakat tidak akan erwujud jika tidak ada wadah gerakan dan organisasi yang kuat.

Dari paparan tersebut tergambar dengan jelas bahwa pada dasarnya idiologi yang mereka bawa adalah baik, tetapi ironisnya dalam realitas keseharian radikalisme lebih menjurus kepada keberagamaan yang negatif dan penuh kekerasan? Padahal yang mereka inginkan adalah gerakan yang menginginkan umat Islam kembali kepada ajaran Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad Saw, tetapi di sisilain, perbuatan melawan ajaran islam juga dilakukan?. Adanya penyimpangan makna radikal dalam beragama yang negative inilah yang memprihatinkan, karena pada dasarnya umat Islam hendaknya beragama secara radikal dalam konotasi positif, yaitu beragama yang menyeluruh, dan fanatik. Keadaan ini diperparah oleh para orientalis yang mengkonotasikan fundamentalisme, radikal dan fanatisme beragama dengan kekerasan, kebrutalan. Radikal dan fundamental dalam konotasi negative inilah yang berkembang dan di masyarakat luas, di sisi lain, ada gerakan yang menyalahartikan radikalisme dan fundamentalisme dalam beragama indentik dengan pemaksaan dan kekerasan. Penyalahgunaan fundamentalisme dalam beragama juga mendapatkan kritik dari Yusuf Qardhawi, beliau menyatakan bahwa fundamentalisme hendaknya jangan diterjemahkan secara feksibel dan disalahgunakan untuk melegimitasi perbuatan atas nama agama., sehingga muncul radikal kanan, radikal kiri, Islam kiri islam kanan.

Lebih lanjut Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa umat Islam, baik salaf maupun khalaf radikal pada dasarnya adalah kembali kepada ajaran Allah dan Rsul-Nya, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS. An-Nisa:59). Jika berselisih dalam suatu permasalahan maka tempat kembalinya adalah Al-Quran dan Hadis. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada masalah yang tidak terselesaikan, dan yang tidak pernah berakhir adalah masalah itu sendiri.

Jika radikalisme dan fundamentalisme dalam beragama hanya berdasarkan pikiran dan hawa nafsu maka hal itu akan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam pengejawantahannya. Di lain pihak gerakan-gerakan dalam Islam akan bermacam-macam coraknya sesuai dengan kehendak nafsunya sendiri. Kalau hal ini terjadi maka kebinasaan, kesengsaraan dan kerusakan akan timbul.” Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.”(QS. Al-Mu’minun:71).

Apabila Front Pembela Islam(FPI) dianggap radikal, fundamental itu boleh-boleh saja, itu hak siapa saja untuk berpendapat, kalaupun ingin mengklaim bahwa FPI adalah gerakan keras, radikal, itu sesuatu yang wajar, yang tidak wajar adalah menyalahkan FPI tanpa melihat latar belakang kenapa hal itu terjadi, mengapa terjadi, untuk apa kekerasan? Peristiwa monas merupakan akumulasi saja darai berbagai dilemma bangsa ini yang tidak kunjung ada penyelesaian yang adil. Kejadian monas merupakan implikasi dari rapuhnya kesetiaan dan ketaatan kepada hokum. /http://www.hariansinggalang.co.id


0 komentar:

Popular Posts