Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Labels

27 Juni 2008

PENDIDIKAN ADEMOKRATIS: ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN YASRAF AMIR PILIANG

(Artikel, Kompas, Jumat, 2 Mei 2008)

Oleh : Riwayat

Yasraf Amir Piliang [selanjutnya ditulis Yasraf] membangun kerangka berfikir dengan statemen “dengan geliat demokratisasi yang mewarnai perjalanan bangsa, pengelolaan pendidikan- yang seharusnya menjadi model demokrasi-justru kian menampakkan watak tak demokratis.” Yasraf menyatakan bahwa bukti pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak demokratis dapat dipahami dengan adanya ketidakadilan, adanya pemaksaan dan irasionalitas dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Lebih lanjut Yasraf menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia kehilangan spirit demokrasi hal ini di tandai dengan hilangnya demokrasi itu sendiri, hilangan dialogis, keadilan dan rasionalitas. Pendidikan hanya di landasi dengan pemaksaan dan ketidakadilan.

Pendapat Yasraf terlalu umum karena menjeneralisasikan pendidikan secara nasional, bahkan ada kecenderungan mengabaikan sisi lain, seperti adanya demokrasi dalam proses pembelajaran, tidak semua pelaksanaan pendidikan di Indonesia anti demokrasi. Di sisi lain, Yasraf menyatakan pelaksanaan pendidikan di Indonesia tidak adil dan irasional. Dari pendapatnya ini dapat dipahami bahwa pendidikan di Indonesia tidak ada keadilan, Yasraf beralasan dengan banyaknya tawuran antar pelajar dan mahasiswa, bunuh karena tidak mampu bayar uang sekolah, penyerangan sekolah oleh masyarakat, penyerangan aparat tehadap insititusi kampus, pencurian soal UN, jual beli soal dan kunci jawaban serta pembetulan jawaban siswa oleh guru, fakta-fakta tersebut merupakan indikasi ketidakadilan, ketidakdemokratisan, dan irasionalitas dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia.

Fakta yang diungkap oleh Yasraf tidak dapat dilihat dari satu sisi saja, karena penyerangan, pencurian soal dan jual beli kunci jawaban adalah soal lain, sedangkan ademokratis dan arsional, pemaksaan juga soal berbeda. Kalau dicermati secara yuridis formal seluruhmasyarakat Indonesia berhak dan dilindungi Undang-Undang, dan berhak mendapatkan pendidikan hal ini dapat dipahami dari Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 31 ayat 1, yang berbunyi”tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran…” darai UUD 1945 tersebut secara jelas bahwa semau masyarakat Indonesia berhak mendapatkan pendidikan. Sebagai tindak lanjut dari UUD tersebut adalah adanya kebijakan wajib belajar sembilan tahun, adanya dana bos, adanya pembebasan uang sekolah bagi anak tidak mampu, pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi dan tidak mampu. Berbagai kebijakan tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah berusaha mengakomodir kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang layak. Kalaupun ada siswa yang bunh diri karena tidak mampu membayar uang sekolah hal itu bukan salah system, bukan salah kebiajakan, tetapi pihak sekolah ang tidak arif dan bijak dalam mencermati permasalahan siswa, bisa jadi kepala sekolah dan pihak terkait seperti wali kelas yang kurag tanggap sehingga ada siswa miskin tidak mendapatkan besasiswa.

Dengan demikian sebenarnya bukan kebijakan pemerintah tidak adil dan tidak akomodatif, tetapi lebih kepada pelaksana kebijakan yang tidak arif dan amanah. Ketidakberesan ditingkat manajer dan bawahan sering berakibat kepada tidak terlaksananya kebijakan pemerintah pusat. Hal ini terjadi karena ada oknum manajer sekolah yang tidak amanah, sehingga kebijakan tidak jalan sebagaimana mestinya. Realitas ini seharusnya yang perlu disorot, dikritisi dan diperbaiki agar kejadian siswa bunuh diri tidak terjadi. Jika manajer dan pihak berkompeten di sekolah aktif dan arif, serta memperhatikan keadaan anak didik,maka pendidikan siswa dan kebutuhannya yang berhubungan dengan keuangan sekolah akan terpenuhi.

Tawuran antar siswa, tawuran antar mahasiswa bukan karena kebijakan pemerintah yang salah. Tetapi lebih kepada aspek situasi dan kondisi siswa dan mahasiswa itu sendiri, kejadian ini adalah masalah lain,bukan masalah kebijakan pemerintah, analisis Yasraf terhadap permasalah sering dicampuradukkan dengan masalah lain. Tawuran sering dipicu oleh masalah-masalah horizontal sesama pelajar maupun sesama mahasiswa. Hal ini sebenarnya bukan termasuk pada kebijakan pemerintah, tetapi tawuran bukan efek negative dari kebijakan pemerintah, namun akaibat dari benturan-benturan kepentingan antar siswa maupun antar mahasiswa itu sendiri. Seperti rebutan pacar, tersinggung, sakit hati dan masalah social lainnya.

Yasraf menyatakan bahwa adanya guru mencuri soal, guru membetulkan jawaban siswa, dan guru jual kunci jawaban itu bukti ketidakadilan dan demokratisasi hilang dalam pendidikan di Indonensia. Hal itu terjadi–masih menurut Yasraf karena pemerintah selalu bertindak sendiri dalam memutuskan kebijakan dengan tidak membawa serta masyarakat dan praktisi pendidikan dan para ahli. Di sisi lain, guru mencuri soal, jual beli jawana, dan membetulkan jawaban merupakan akibat adanya UN [selanjutnya ditulis UN) dan penyeragaman, pemaksaan Negara. Kalaupun hal itu terjadi bukan karena salah Negara, tetapi perlu kearifan semua pihak, apa yang di UN kan hanya untuk memacu tingkat kualitas standar internasional, bukan pemaksaan dan penyeragaman seperti yang dituduhkan oleh Yasraf. Penulis lebih berkecenderungan terjadinya pencurian dan jual beli kunci jawaban tidak lebih karena kepentingan segelintir orang, bahkan mungkin untuk kepentingan pribadi, seprti untuk mempertahankan reputasi dan imej di muka umum, atau mungkin untuk mempertahankan jabatannya, sehingga apapun dilakukan agar ia tetap menjabat kepala sekolah, kepala Dinas, maupun jabatan lainnya

Kalaupun ada yang jual beli sola itu ada kemungkinan dan patut diduga sebagai usaha memenuhi kebutuhan ekonomi segelintir orang dan itu bukan efek dari kebijakan Negara tentang pendidikan, dan bukan pula efek dari UN. Kalaupun ada efek dari UN hal itu bukan terkait dengan kebijakan Negera, tetapi mungkin dan patut diduga karena ketidaksiapan siswa dalam megikuti UN, atau patut diduga karena orang tua siswa takut kalau anaknya tidak lulus UN. Berbagai kemungkinan dapat terjadi dan menjadi akibat akan adanya penyelewengan yang dilakukan oleh guru.

Dimungkinkan juga ada guru merasa takut kalau anak didiknya tidak lulus, atau takut nilai mata pelajaran yang di UN kan rendah, sehingga perlu melakukan sesuatu yang mungkin dapat menolong siswa agar mencapai nilai yang tinggi. Kalaupun ketakutan tersebut ada, seharusnya guru mempersiapkan siswanya jauh sebelum UN di laksanakan, bukan dengan jalan mencuri soal, apalagi mengganti lembar jawaban siswa. Semua sepakat bahwa mengganti lembar jawaban siswa adalah perbuatan tercela dan melawan hokum, mencuri soal, jual beli jawaban adalah perbuatan yang melawan hokum.

“Dalam sejarahnya, pendidikan tidak selalu berwatak demokratis. Di negara-negara berideologi totalitarianisme dan fasisme, pendidikan menjadi alat aneka represi, pemaksaan, intimidasi, penyeragaman, dan kekerasan oleh penguasa atau negara. Sebaliknya, di negara demokratis, pendidikan menjadi motor penggerak bagi terbentuknya jiwa demokrasi: kebebasah, keadilan, persamaan, dan dialog.
John S Brubacher dalam Modern Philosophies of Education (1978) menjelaskan, “pendidikan demokratis” sebagai pendidikan yang menghargai kemuliaan manusia (dignity); individualitas dan kebebasan (akademis); perbedaan dan keanekaragaman; persamaan hak (equalitarianism), di mana model pendidikan harus “disesuaikan” dengan aneka perbedaan (kebutu han, kecerdasan, kemampuan); dan “keberbagian” (sharing), di mana yang berbeda-beda itu (differences) harus diberi tempat, tetapi semua yang berbeda dapat berbagi untuk prinsip-prinsip umum. Dalam konteks otonomi daerah dan dcmokrasi, penghargaan akan “perbedaan” (kebutuhan, kecerdasan, kompetensi), “diversitas” (daerah, alam, dan wilayah), dan “pluralitas” (suku, bahasa, agama, ras) seharusnya menjadi fondasi “ideologi pendidikan”. Segala bentuk penyeragaman, homogenisasi, dan standardisasi tidak holeh dilakukan secara sepihak menggunakan otoritas kekuasaan, tetapi diperbincangkan dan dikomunikasikan dalam ruang publik demokratis (Jurgen Habermas) guna mencapai konsensus bersama.”

Dari kutipan pendapat Yasraf tergambar bahaw demokratisasi di Indonesia belum terwujud, terutama dalam bidang kebijakan pendidikan, menurutnya kebijakan pendidikan masih dikuasa oelh pemerintah pusat tanpa ada keinginan pemerintah untuk duduk bersama dan mengkomunikasikan berbagai kebijakannya. Pemerintah masih sepihak dalam memutuskan kebijakan dalam bidang pendidikan. Anggapan Yasraf kurang berdasarkan sebab bebagai kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pendidikan dikaji dan dimusyawarahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, artinya pemerintah adalam membuat kebijakan mengikutsertakan perwakilan rakyat.

Yasraf terlalu membesarkan masalah tanpa mengkaji lebih jauh dengan analisa yang lebih mendalam, karena pendapatnya bertolak belakang dengan realita. Sebab dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah memberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan masing-masing berdasarkan kebutuhan, keadaan wilyah, dan

Bufaya local. Artinya adalah pemerintah pusat memberi kesempatan dan peluang kepada pemerintah daerah untuk mengembangan pendidikan di aderah sesuai dengan kebutuhan, tanpa harus mengilangkan rasa nasionalisme dan kebijakan pemerintah pusat.

Yasraf seharus melihat kebijakan pendidikan nasional sebagai kerangka umum yang bersifat fleksibel, kerangka umum tersebut sebagai acuan dalam mengembangkan pendidikan di daerah masing-masing. Hal ini mengisyaratkan bahwa kebijakan pendidikan pusat tidak dipaksakan seperti yang dikatakan oleh Yasraf. Pemerintah pusat hanya memberikan tolak ukur untuk keseluruhan, karena secara potensi bangsa Indonesia mempunyai kesempatan yang sama dalam menuntut ilmu dan memperoleh pendidikan. Kemudian dalam hal pemenuhan materi pembelajaran secara umum dapat terpenuhi karena telah disesuaikan dengan tingkat umur dan psikologi anak didik. Seperti ada Un, materi yang di UN-kan merupakan materi yang sudah diajarkan, dan disemua daerah mempunyai peluang yang sama untuk lulus. Dan materi yang UN-kan tidak mempengaruhi perkembangan keunikan budaya local, karena dalam Sistem Pendidikan Nasional ada kesempatan dan bahkan diberi kesempatan yang luas untuk mengembangkan budaya local, terutama dalam kegiatan ekstrakurikuler. Atau dapat juga dikembangakn dalam muatan local.

Di sisi lain, pemerintah hanya menuntut dilaksanakan sistem pendidikan Nasioanl dalam kerangka keindonesiaan,tanpa menghilangkan kekhasan daerah dan potensi wilayah masing-masing. Yasraf tidak setuju adanya keseragaman, satandarisasi, hegemonisasi hendaknya dibicarakan, dalam kasusu Indonesia kebijakan pendidikan telah dibawa dalam musywarah di ruang public, dalam arti ada pakar, praktisi pendidikan di ajak duduk bersama untuk membuat rumusan kebijakan, ini memberi pemahaman bahwa kebijakan yang dilakukan pemrintah telah diusahan membawa masyarakat, terutama yan hali dan berkompeten dalam bidang pendidikan. Penulis sepakat dengan demokrasi pendidikan yang diapungkan oleh Yasraf-mengutip pedapat Jurgen Habermas, bahwa dalam demokrasi pendidikan sangat memperhatikan perbedaan kebutuhan, kecerdasan, kompetensi, termasuk pertimbangan geografi wilayah, termasuk budaya, adat, suku,bahasa, ras dan agama.

Yasraf mencoba mengapungkan suasana demokrasi adalm pendidikan, dengan menjauhkan pendidikan dari segala kekerasan baik secara terbuka maupaun secara simbolik. Kekerasan dalam pendidikan merupakan sesuatu yang hendaknya dihindari karena kekerasan hanya akan menambah rasa dendam dikalagan peserta didik. Dalam pendidikan Islam pun, kekerasan dilarang, kalaupun ada Hadis Nabi untuk memukul anak yang tidak salat, emukulan itu hanyasebatas mendidik bukan untuk menyiksa apalagi menyakiti. Memang kalau diliaht selintas hal itu merupakan kekerasan, tetapi kalau dicermati sesungguhnya pemukulan tersebut hanya usaha untuk mendidik anak yang engan salat. Kekerasan yang dilarang di sekolah adalah kekerasan yang menyebabkan anak didik teraniaya, terluka, apalagi sampai membahayakan anak didik.

“Kekerasan simbol (simbolic violence), menurut Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (1992), adalah sebuah kekerasan halus dan tak tampak, yang dilakukan seseorang, kelompok, atau institusi (seperti negara), dengan menggunakan otoritas kekuasaannya melakukan aneka “pemaksaan” simbolis (bahasa, konsep, program, prinsip, dan makna, yang meski salah, masyarakat dikondisikan untuk mengakui dan menerima yang salah itu sebagai benar dan legitimate.
Konsep UN yang oleh banyak kalangan dianggap kebijakan pendidikan yang tak sesuai dengan semangat otonomi daerah dan demokrasi, oleh otoritas pendidikan (Departemen Pendidikan) “dipaksakan”, dalam kondisi kontroversi tentang kebenarannya. Bahkan, penerapan konsep UN itu dijalankan di atas “bingkai hukum”, berupa hukum pidana bagi para pelanggar, tanpa pernah serius meneliti akar aneka pelanggaran itu.
Kekuatan simbol (symbolic capital) atau otoritas hegemonik digunakan untuk memaksakan kompetensi yang seragam, baku, dan homogen dalam masyarakat plural, dengan modal intelektual, budaya, dan sosial(social capital) yang tidak saja berbeda, tetapi juga senjang. Otoritas pendidikan yang seharusnya mencontoh “pendekatan budaya” dalam menyosialisasikan program pendidikan seperti UN kini melakukan pendekatan “militeristik” penuh represi, tekanan, dan pemaksaani.”

Konsep UN dikritisi oleh Yasraf sebagai sebuah pemaksaan kehendak pemerintah terhadap rakyat. UN hanya pemaksaan terselubung yang dilakukan oleh pemerintah. Di sisi lain Asraf mencoba menorek kebijakan pemerintah terutama Departemen Pendidikan,Departemen di anggap mengunakan pendekatan Militeristik dalam memaksa dan mengadili yang mengahalangi pelaksaan UN dan yang melanggar aturan-aturan UN. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya guru yang diadili karena membantu siswa atau membocorkan soal UN kepada siswa. Yasraf menyatakan bahwa sanksi dan hukuman yang diberikan pemerintah terhadap penghianat UN adalah bersifat militeristik dan tidak sesuai dengan semangat demokrasi.

Adanya pemenjaraan oknum guru yang mencuri soal dan memperjualbelikan kunci jawaban merupakan tindakan criminal dan harus dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku. Hukuman yang diterima guru karena mencuri soal adalah sah dan wajib, karena mencuri adalah tindakan pidana dan wajar kalau pelakunya harus masuk penjara siapapun orangnya,k arena secara sah ia melanggar hokum di negeri ini. Yasraf mengusulkan hukumannya seharusnya bersifat pendekatan budaya, berpendapat boleh saja, tetapi kalau penyelesaiannya menggunakan pendeatan budaya, ada kemunginan hal itu akan diulang karena tidak ada kebijakan tegas. Pendapat Yasraf yang menyatakan bahwa sosialisasi UN bersifat militerisitik tidak berdasar, bahkan secara nyata Yasraf menyatakan bahwa pendekatan militerisitk penuh dengan kekerasan, tekanan, dan pemaksaan. Kalau dicermati di tengah masyarakat, perasaan tertekan, merasa dipaksa, dan merasa mendapat tekanan, itu halyang wajar, wajar bagi anak didik yang malas belajar, karena UN dinilai sebagai beban karena ia tidak akan lulus.

Di sisi lain, UN bagi siswa yang rajin belajar merupakan tantangan yang menyenangkan. UN akan terasa menyiksa bagi kepala sekolah yang tidak ingin kehilangan jabatannya, UN baginya adalah pertaruhan jabatan kepala sekolah, maka kepala sekolah yang bermental seperti ini akan kasak kusuk dan mencari celah untuk kesuksesan UN di sekolahnya. Yang merasa tertekan adalah para oknum guru yang suka mencuri soal UN, membocorkan soal UN dan membetulkan jawaban siswa, merasa tertekan karena telah berbuat melanggar hukum dan melanggar aturan negara.

Bagaimana mungkin seorang guru digiring ke pengadilan untuk mendapat keadilan (justice) dan kebenaran (truth) atas dakwaan melanggar kewajiban (UN) yang justru konsep, bentuk, dan materinya penuh muatan “ketakadilan” (injustice). Dalam jiwa para guru yang membantu membentukjawaban ujian siswa bergejolak dua dorongan “kebajikan” (virtue) yang bertentangan, yaitu “respek terhadap hukum” dan “rasa kemanusiaan”(membantu siswa memperbaiki jawaban).
Pana guru itu tentu tidak dapat melakukan dua kebajikan sekaligus. Mereka memilih “rasa kemanusiaan” dengan “melanggar hukum” (membantu siswa terbelakang). Mereka adalah para Robin Hood, yang dihinakan sebagai “kriminal” oleh penguasa, tetapi disanjung bagai “pahlawan” oleh orang-orang marjinal. Para guru itu memang melanggar hukum, tetapi mereka melakukan itu karena didorong oleh “ketidakadilan” sistem pendidikan, yang mengabaikan perbedaan (kebutuhan, kecerdasan, dan kompetensi)”.

Dari kutipan tersebut dapat dicermati bahwa Yasraf mendukung seorang guru yang berkhianat demi anak didik, Yasraf lebih menyukai sikap guru yang mencuri soal demi anak didik, bahkan Yasraf menganggap perbuatan guru yang membocorkan soal, emncurai soal sebagai pahlawan layaknya Robin Hood. Apa mungkin pencuri dianggap pahlawan? Tetapi bisa jadi pahlawan bagi siswa pemalas, siswa yang malas belajar, bagai mereka guru yang mencuri soal dan membocorkan soal adalah pahlawan, seperti layaknya Robin Hood. Lagi-lagiYasraf dengan kerancuannya dan sinisnya terhadap kebijakan pendidikan menyatakan bahwa system pendidikan tidak adil, ketidakadilan tersebut menurut Yasraf digambarkan dengan adanya pengabaian perbedaan akan kebutuhan, kecerdasan dan kompetensi.

Seharusnya guru tidak perlu mencuri soal UN demi anak didik, bukan seperti itu langkah untuk meningkatkan prestasi dan pencapaian nilai anak didik, tetapi langkah yang perlu dilakukan adalah dengan memberikan yang terbaik untuk siswa pada saat pembelajaran, mudah-mudahan dengan kesiapan guru dalam pembelajaran serta mencoba dengan berbagai pendekatan dan metode akan memberi peluang kepada siswa untuk semangat dalam belajar. Di sisi lain, guru hendaknya juga memperhatikan keberagaman peserta didik, baik potensi, kebutuhan dan kecerdasan dan potensi lainnya. Dengan berbagai usaha tersebut paling tidak sudah memberi semacam kepercayaan siswa untuk menghadapi Ujian Nasional(UN).

UN melatih siswa untuk rajin belajar dan berlatih untuk jujur, jujur terhadap diri sendiri, jujur terhadap kemampuan diri. Dengan adanya UN, siswa makin diuji untuk terus belajar dan belajar. UN dilaksanakan bukan untuk ademokratis, tetapi untuk demokrasi itu sendiri.

0 komentar:

Popular Posts